Minggu, 07 Juli 2013

SONGSONG RAMADLAN 1434 H


SONGSONG RAMADLAN 1434 H
Oleh : Zulkarnain, Hb

”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak   dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (Qs. Al-Baqorah 2/185)”

A.    Kapan 1 Ramadlan 1434 H ?
Berdasarkan al-Qur’an Surat 10/5, 17/12, 36/38-40, 55/5 dan hadist Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam; Riwayat Bukhori: 1773, Nasai: 2089, dan Muslim:1819 yang memotivasi menggunakan metode Hisab dalam penentuan awal bulan qomariah dengan kreteria hisab hakiki, Ijtima’ Qoblal Ghurub dan Wujudul Hilal. Awal Ramadhan 1434 H dapat disampaikan sebagai berikut:
1.     Ijtimak menjelang Ramadhan 1434 H terjadi pada Hari Senin Pon, 7 Juni 2013 M, Pukul 14:15':55" WIB.
2.     Tinggi Hilal pada saat terbenam Matahari: (    = -07  48”, dan ,   110  21’ BT )    +0  44' 59 (hilal sudah wujud).
3.     Pada saat Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 M (hari Senin), di sebagian wilayah barat Indonesia hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur Indonesia belum wujud. Dengan demikian, garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian.
4.     Berdasarkan hasil hisab tersebut maka 1 Ramadhan 1434 H, jatuh pada Hari Selasa Wage, 9 Juli 2013 M.

        Dan bagi yang menggunakan metode rukyatul hilal dengan berdasar pada hadist Riwayat Bukhori: 1776, 1809, Ahmad: 1881, dan Tirmidzi:620 dengan keteria imkanurrukyat 2 derajat  maka bisa dipastikan 1 Ramadlan 1434 H, akan Jatuh pada Hari Rabu Kliwon, 10 Juli 2013 H (dengan menggenapkan umur bulan Sya’ban menjadi 30 Hari), karena ketinggian hilal masih belum 2 derajat yakni +0 44' 59"
Namun jika menggunakan metode rukyatul hilal tanpa imkanurrukyat, tentunya menunnggu hasil pengamatan kemunculan hilal secara langsung pada Hari Senin malam (Ba’da maghrib). Jika pengamatan mampu melihat kemunculan hilal maka 1 Ramadhan 1434 H, jatuh pada Hari Selasa Wage, 9 Juli 2013 M. Dan jika sebaliknya maka dengan cara menggenapkan umur bulan Sya’ban menjadi 30 Hari dan secara teori ilmiyah tidak akan mungkin dapat terlihat. Maka 1 Ramadlan 1434 H, akan Jatuh pada Hari Rabu Kliwon, 10 Juli 2013 H.
Ingat saudaraku! Mengawali puasa di tanggal 1 ramadlan adalah wilayah prinsip beragama bukan wilayah politik beragama, yang pertanggungjawabannya langsung hanya kepada Allah ‘Azza wajalla. Dan jika diantara kita terjadi perbedaan prinsip dalam mengawali ramadlan dan ini suatu kemestian, maka keluasan dan keluesan dalam Islam serta jiwa toleransi yang tinggilah yang harus kita junjung sebagai bentuk kewajiban azazi dan kedewasaan kita dalam beragama dalam konteks negara demokrasi.


B.   Tata Cara Dan Persiapan Menyambut Ramadlan

Saudaraku! Bulan Ramadhan adalah bulan yang agung, bulan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk manusia yang masih hidup dan pembeda antara yang haq dan bathil, bulan diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman. Demikian agungannya, umat Islam wajib mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya guna menyongsong dan memasuki Ramadhan sejak dini. Untuk itu bulan Sya’ban dapat kita jadikan sebagai wahana penting dalam mempersiapkan Ramadhan yang lebih bermakna bagi diri, keluarga dan masyarakat.
Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, mereka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,
كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan. (Lathaaiful Ma’arif hal. 232)
Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan,
شَهْرُ رَجَبٍ شَهْرُ لِلزَّرْعِ وَ شَعْبَانَ شَهْرُ السَّقْيِ لِلزَّرْعِ وَ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ
“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 130).
Saudaraku! Setidaknya dalam mempersiapkan dan menyambut ramdhan tahun ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan;
1.     Selama bulan Sya’ban yang masih tersisa ini (1) berbekalah ilmu, yaitu mengkaji ulang tentang shiyam dan ibadah-ibadah seputar Ramadlan, karena hanya dengan kajian keilmuan inilah kita bisa berpuasa sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan pada gilirannya titel taqwalah yang akan kita raih. (2) persiapkan jiwa dengan sebaik mungkin, yaitu melatih jiwa dengan cara memperbanyak ibadah dibulan sya’ban, seperti; Qiyam Al-lail, tilawah Al-Quran, dan puasa sunnah agar pada waktu puasa di bulan Romadlan dengan mudah dapat melakukan sunnah-sunnah ramadhan dan dapat meninggalkan segala perbuatan yang dapat membatalkan puasa dan mengurangi nilai pahala disisi-Nya. Dan yang tidak kalah pentingnya (3) Persiapan fisik material, yaitu; mempersiapkan sarana prasarana penunjang kegiatan Ramadlan, seperti memperbaiki tempat ibadah, membuat jadwal kegiatan, Silabus kajian, panduan taushiyah ramadhan menyediakan Al-Qur’an, mempersiapkan harta untuk bershadaqoh, infaq, dan penyediaan berbuka (Ta’jil)
2.     Bersihkan diri dari segala penyakit hati, seperti; iri, dengki, hasad, hasut, sombong, mencela, dendam, berbohong, ghibah, mencai-cari kesalahan orang lain dan pengecut baik sebelum, akan dan sedang menjalankan ibadah puasa.
3.     Tingkatkan gerakan Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar, saling nasehat menasehati di jalan Alloh agar suasana ramadhan lebih menyejukkan hati.
4.     Jagalah niat dan kemantaban ibadah puasa dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah al-maqbullah seperti: (1) berusaha makan dan mengakhirkan waktu sahur )Buchori :1923,1963 dan   Muslim :1095,1097), (2) menyegerakan berbuka dan usahakan dengan kurma (Buchori :1957, Muslim :1098), (3) dan berucaplah;
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam apabila berbuka beliau mengucapkan: “Telah hilang dahaga, telah basah otot-otot dan tetaplah pahala, insya Allah “ (Abu Dawud: 2357, Ahmad :13310)

5.     Jadikan ramadhan 1434 H ini sebagai metamorfosis kehidupan dan proses tranformasi diri dari keadaan yang serba negatif kepada keadaan yang serba positif, maka tingkatkan perhatianmu pada al-Qur’an dengan mentadarusinya (Nasa’I :2095, Ahmad : 35201), laksanakan Qiyam Al-Ramadlan dengan ikhlash, tumakninah dan khusuk (Bukhori:1870, Muslim: 1266, Turmudzi: 619), Dan tingkatkan ibadahmu sesudah tanggal 20 Ramadlan dengan banyak beri’tikaf (Buchori: 2025, Muslim: 1171)
6.     Tinggalkan beberapa kebiasaan dalam menyambut datangnya bulan Ramadlan yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam, Seperti:
(1) Mandi dan berkunjung di tempet-tempat yang dianggap kramat,
(2) Ziarah kubur disertai dengan membakar kemenyan, membawa sesajen untuk arwah atau mengirim aneka ragam bunga, kelapa muda, air yang dicampur dengan bunga, dll, Ziarah kubur  adalah sunnah, supaya kita sering-sering mengingat kematian. Tetapi jangan melakukan hal-hal yang menjurus kepada syirik dan bid’ah,
(3) Mengadakan selamatan pada malam 1 Ramadlan yang disebut dengan acara punggahan baik secara kelompok atau bergilir dari rumah ke rumah, juga tidak ada tuntunannnya kalau yang dimaksud adalah shodaqoh, maka yang tepat adalah untuk memberi buka orang yang berpusa Ramadhan, bukan malam tanggal 1 Ramadlan, sesuai dengan sabda Rasulullah :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
      Siapa yang memberi makan berbuka orang yang berpuasa, ia mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun “ (HR.Tirmidzi: 735)
7.     Sambutlah kedatangan bulan Ramadlan penuh dengan kegembiraan dengan ucapan:

مَرْحَبًا يَارَمَضَانَ

                         “Selamat datang wahai bulan Ramadlan”

8.     Terakhir, jadikan Ramadlan tahun ini sebagai wasilah perbaikan keIslam diri, keluarga dan masyarakat kita. Dengan ini insya Allah peradaban utama yang dicita-citakan insan beriman akan segera terwujud.
Demikian sajian singkat ini kami sampaikan, semoga menjadi sarana pencerdasan dan pencerahan. Hanya kepada Allahlah kami mohon maghfirah-Nya dan semoga bermanfaat. Amin


Allahu A’lam Bish-Showab




والله أعلم بالصواب

PANDUAN QIYAM RAMADHAN


 

 

PANDUAN  QIYAM  RAMADHAN

By: Zulkarnain, Hb

          Dimalam-malam Ramadhan kaum mukmin disyari'atkan melaksanakan Qiyam Ramadhan (shalat tarawih). Barang siapa yang menghidupkan amalan sunnah ini dengan ikhlas dan dilandasi dengan iman yang kokoh dan tangguh dalam mengharap ridlo Allah berarti balasannya  ampunan dari-Nya.

 عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ
“Hendaknya kalian biasakan Qiyam  al-Lail, karena shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian (HR. Tirmidzi: 3472).
 مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berjaga (melakukan ibadah) pada     malam ramadlan (Sholat) karena iman dan mengharap (ridha Allah), ia akan diampuni dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhori: 1870, Muslim: 1266)

Panduan pelaksanaan
Secara ringkas pelaksanaan Qiyam Ramadhan sesuai dengan sunnah maqbullah adalah:
1.      Dirikan qiyam ramadhan (shalat tarawih) dengan  niat ikhlas dan landasilah dengan iman yang kokoh,  lakukan dengan khusu' dan tuma'ninah
2.      Tinggalkan amaliyah yang tidak ada contoh dari Nabi dan generasi salaf seperti "Ash-sholaatu jaami'ah, Usholli Sunnata al-taraawiihi...dst., dan gantilah dengan sawwu Shufuufakum Fa inna Taswiyatash shufuf  Min Tamaamish sholah atau sawwu Shufuufakum Watarosh shu Wasuddul kholal (kalian kaena sesungguhnya meluruskan shof termasuk penyempurna sholat, atau luruskan, rapatkan shof-shof kalian dan penuhi shof yang masih longgar) ( Bukhori:723, Muslim: 433 dan Abu Dawud: 620)
”Sebab para Ulama setelah mencari dalil di dalam Hadis maupun al-Qur’an tidak ada satupun dalil yang menerangkan tentang Bacaan Usholli ” seperti Usholli yang biasa kita Lafadzkan  dalam shalat 5 waktu , Ushalli shalat tarawih maupun shalat2 yang lain.
Mengapa demikian ??
Karna dalil Ushalli yang selama ini kita gunakan adalah dalil yang dibuat oleh para Ulama Muta’ahirin untuk mengajarkan dan menjelaskan kepada anak-anak bagaimana cara berniat agar anak tersebut tidak bingung dan dapat mengetahui seperti apa cara mengucapkan Niat di dalam hati, namun dengan berjalanya waktu malah dalil tersebut di implementasikan tatkala hendak melaksanakan Shalat dan bahkan menjiharkan bacaan Usholli tersebut. Padahal Niat itu dilakukan di dalam hati dan tidak dijiharkan .
3.      Setelah melaksanakan shalat sunnah rawatib ba'da isya', Lakukan Shalat iftitah 2 rekaat yang ringan (Muslim: 1286)., Adapun tata cara pelaksanaan Sholat Iftitah bisa dengan munfarid bisa juga dengan berjamaah, bisa dengan suara sir bisa juga dengan suara jahr. (Tirmidzi: 2848, Ahmad: 24005, Nasai: 1644). Sesudah takbirotul Ihrom bacalah ´Subhaana Dzilmulki Walmalakuut Waljabaruut Walkibriyaa I wal 'Adzomah
سُبْحَانَ ذِى اْلمُلْكِ وَالْمَلَكُوْتِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ  وَالْعَظَمَةِ
"Maha suci Allah, Dzat yang Maha memiliki kerajaan, kecukupan, kebesaran dan keagungan” Setelah itu bacalah surat al-Fatihah saja tanpa membaca ayat atau surat,  begitupun juga pada rekaat kedua. (Tabrani: 6/26)


4.      Pilihlah salah satu dari dua tata cara Qiyam al-Ramadhan (sholat Tarawih) yang populer dan mudah diamalkan;
Pertama: Sholat 11 rekaat, 4 – 4  (Qiyam al-ramadhan) dan  3 rekaat (sholat witir), atau Sholat  13 rekaat, 2 (sholat iftitah),  4– 4 (Qiyam al-Ramadhan) dan  3 rekaat (sholat witir),
Kedua: Sholat  13 rekaat, 2 (sholat iftitah), 2-2-2-2 (Qiyam al-Ramadhan) dan  3 rekaat (sholat witir), (Bukhori: 3304, Muslim: 1219 & Muslim: 1286)
5.      Pada waktu sholat witir sesudah Surah al-Fatihah pada rekaat pertama bacalah Surat Al-A’la, pada rekaat kedua surah Al-Kafirun dan rekaat ketiga Surah al-Ihlas.(Nasai: 1681, Ahmad: 4674)
6.      Setelah salam dalam sholat witir, bacalah dengan sendiri-sendiri bacaan Subhaanal Malikul Qudduus”
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
sebanyak tiga kali (pada bacaan yang ketiga dengan suara yang nyaring), kemudian diteruskan membaca:
رَبُّ اْلمَلَائِكَةِ وَالرُّوْحِ
  Robbul Malaaa ikati Warruuh” (Nasai: 1683, ahmad: 4674, Baihaqi: 4640, Tabrani: 8115)
7.      Pada 10 terakhir ramadhan tetaplah bersemangat, berilah motivasi keluarga dan masyarakat. Karena 10 hari terakhir adalah penutup bulan ramadhan, sementara setiap amalan itu tergantung dengan penutupnya. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Dan sungguh amalan itu ditentukan dengan penutupannya.” (Bukhari: 6117)
·      Dan pada 10 hari terakhir perbanyaklah berdoa "Allahumma Innaka 'Afuwwun Tuhibbul 'Afwa Fa'fu 'Annii

أَللَّهُمَّ اِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi Maaf, Engkau suka pemberian maaf, maka maafkanlah aku”. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Demikian sajian singkat ini kami sampaikan, semoga menjadi sarana pencerdasan dan pencerahan. Hanya kepada Allahlah kami mohon maghfirah-Nya dan semoga bermanfaat. Amin


  Allahu A’lam Bish-Showab




والله أعلم بالصواب




Mengimbau Tarawih Rasulullah


Mengimbau Tarawih Rasulullah
Oleh : Zulkarnain, Hb

Hari ini solat tarawih telah menjadi satu syi’ar besar di setiap datangnya Ramadhan. Ia begitu subur dilaksanakan di seluruh dunia umat Islam.

Ketika zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, istilah tarawih belum lagi dipopularkan. Sebaliknya solat tarawih adalah sebahagian dari solat-solat sunnah di malam hari yang biasa seperti witir, tahajjud, atau qiyamullail.

Dalam sebuah hadis, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan bahawa solat malam Rasulullah itu tidak melebihi sebelas rakaat sama ada di bulan Ramadhan atau selain dari bulan Ramadhan. Dari penjelasan yang dikemukakan ‘Aisyah ini menunjukkan asalnya solat malam di malam-malam bulan Ramadhan (Tarawih) dengan solat malam di luar Ramadhan adalah sama. Solat malam ini secara umumnya merujuk sama ada qiyamullail, solatullail, witir, atau tahajjud. Tetapi apabila ia dilaksanakan ketika malam-malam Ramadhan, maka ia tercakup pula sebagai sebahagian dari qiyam Ramadhan yang kemudian dikenali pula sebagai Solatut Tarawih (Solat Tarawih).

Cuma apabila tiba Ramadhan, solat-solat malam ini dianjurkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya agar disemarakkan dan dilaksanakan secara berjama’ah. Iaitu di antara waktu setelah selesai solat fardhu ‘isya’ berserta rawatibnya sehingga sebelum masuk waktu Subuh. Solat tarawih boleh dilaksanakan sama ada di awal malam mahupun akhir malam.

Nama tarawih mula dipopularkan kalangan salaf kerana ia disertakan dengan duduk istirehat di setiap dua rakaat atau empat rakaat yang panjang. Selain nama tarawih, ia juga dikenali dengan sebutan qiyam Ramadhan. Solat malam sama ada di bulan Ramadhan atau selain Ramadhan secara umumnya dilakukan dengan dua rakaat-dua rakaat, kemudian ditutup (atau diakhirkan) dengan rakaat yang ganjil. Ini sebagaimana kata Rasulullah dalam satu hadisnya:

صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَنْصَرِفَ فَارْكَعْ رَكْعَةً تُوتِرُ لَكَ مَا صَلَّيْتَ 

“Solat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Apabila kamu hendak berhenti, solatlah satu rakaat ganjil untuk menututupnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 4/73, no. 938)

Solat tarawih boleh dilaksanakan secara sendirian mahupun berjama’ah. Tetapi lebih dituntut supaya dilaksanakan dengan berjama’ah bersama-sama imam dan didirikan dengan bacaan al-Qur’an yang panjang selagi mana tidak memberatkan para jama’ah. Ini sebagaimana dalam sebuah hadis berupa penjelasan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkenaan sifat solat tarawih Rasulullah:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي 

Daripada Abi Salamah B. 'Abdirrahman, bahawasanya beliau pernah bertanya kepada 'Aisyah radhiyallahu 'anha:

(Beliau bertanya) “Bagaimananakah solat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ketika bulan Ramadhan?”

('Aisyah menjawab) “Apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam sama ada di bulan Ramadhan mahu pun di bulan-bulan selainnya, beliau tidak pernah solat malam melebihi sebelas raka'at. Beliau solat empat raka'at, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau solat lagi empat raka'at, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau menutup dengan tiga raka'at solat (witr). Aku bertanya (kepada Rasulullah): Wahai Rasulullah, adakah engkau tidur terlebih dahulu sebelum melaksanakan solat witir?”

Rasulullah menjawab, “Wahai 'Aisyah, mata aku tidur, tetapi hati aku tetap berjaga.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Kitab Solat Tarawih, Bab: Kebaikan Ramadhan, 7/138, no. 1874)

Dalam Shahih Muslim, Hudzaifah B. al-Yaman menyatakan bahawa Rasulullah pernah solat malam dengan membaca surah al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan an-Nisaa’ dalam satu rakaat yang panjang. Beliau membacanya dengan penuh tartil iaitu dengan perlahan-lahan dan ayat demi ayat. (Rujuk: Shahih Muslim, 4/171, no. 1291)

Akan tetapi apabila seseorang bertindak sebagai seorang imam, maka ia boleh memanjangkan solatnya selagi mana ia tidak memberatkan para jama’ah yang turut serta. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا مَا قَامَ أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ الصَّلَاةَ فَإِنَّ فِيهِمْ الْكَبِيرَ وَفِيهِمْ الضَّعِيفَ وَإِذَا قَامَ وَحْدَهُ فَلْيُطِلْ صَلَاتَهُ مَا شَاءَ 

“Apabila salah seorang dari kamu menjadi imam, maka ringankanlah solat tersebut. Kerana di antara para makmum ada orang tua dan ada orang yang lemah. Adapun jika ia melaksanakan solat sendirian, maka ia boleh memanjangkannya berdasarkan apa yang ia kehendaki.” (Hadis Riwayat Muslim, 2/495, no. 715)

Adapun secara asalnya, yang afdhal adalah membaguskan dan memanjangkan bacaan al-Qur’an dalam solat malam sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga pernah bersabda:
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُولُ الْقُنُوتِ 

“Solat yang afdhal (utama) adalah yang lama berdirinya.” (Hadis Riwayat Muslim, 4/132, no. 1257)

Tarawih Menghapuskan Dosa

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ 

“Sesiapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala, diampunkan baginya dari dosa-dosanya yang telah lalu.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/134, no. 1870)
Tarawih Berjama'ah

Sunnah solat tarawih berjama’ah telah berlangsung sejak hayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lagi. Hanya Cuma kemudian dihentikan atas sebab kerisauan Rasulullah jika solat tarawih tersebut akan diwajibkan ke atas umat Islam. Ini adalah sebagaimana penjelasan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ 

“Bahawasanya pada suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melaksanakan solat di masjid, Kemudian orang ramai pun mengikuti solat beliau. Pada malam berikutnya beliau kembali melaksanakan solat di masjid dan orang yang mengikutinya pun bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat, orang ramai telah berkumpul tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak keluar untuk solat bersama-sama mereka. Ketika pagi hari beliau tampil menjelaskan, “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang kamu lakukan tadi malam dan tidak ada yang menghalang aku untuk keluar solat bersama-sama kamu melainkan kerana aku bimbang jika solat tersebut akan diwajibkan ke atas kamu.” (‘Aisyah menyambung) Kejadian ini berlaku di bulan Ramadhan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 4/290, no. 1061)

Walaupun demikian, solat tarawih sebenarnya tetap berlangsung, hanya cuma tidak dilaksanakan dalam satu bentuk jama’ah yang menyeluruh sebagaimana pernah dilakukan di zaman Rasulullah. Tetapi masyarakat ketika itu melaksanakannya dengan terpisah-pisah sama ada dengan sendirian mahupun dengan jama’ah masing-masing.

Ibnu Syihab berkata:

فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا 

“Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wafat, orang ramai tetap meneruskan tradisi solat di malam Ramadhan, keadaan tersebut berterusan hingga ke zaman kekhalifahan Abu Bakar dan awal-awal kekhilafahan ‘Umar B. al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.” (Shahih al-Bukhari, 7/134)

Setelah sebab-sebab kerisauan dan kebimbangan di zaman Rasulullah hilang, maka solat sunnah tarawih secara berjama’ah yang menyeluruh dan rasmi pun kembali dihidupkan ketika pemerintahan ‘Umar al-Kaththab radhiyallahu ‘anhu.

‘Abdurrahman B. ‘Abdil Qari’ menceritakan, “Aku pernah pergi ke masjid bersama-sama ‘Umar al-Khaththab di malam-malam bulan Ramadhan. Maka kami pun melihat ramai orang melaksanakan solat dengan berpencar-pencar (terpisah-pisah). Ada yang solat sendirian dan ada yang solat dengan mengikuti imam. ‘Umar pun berkata:

“Demi Allah, adalah lebih baik jika kita kumpulkan mereka supaya solat bersama-sama seorang imam.” Maka ‘Umar pun berusaha melaksanakannya. ‘Umar mengumpulkan mereka (untuk solat berjama’ah) bersama-sama Ubay B. Ka’ab.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/135, no. 1871)

‘Umar memerintahkan Tarawih 11 Rakaat

As-Sa'ib B. Yazid menjelaskan:

أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ 

“Umar al-Khaththab memerintahkan Ubay B. Ka’ab dan Tamim ad-Daari untuk mengimami solat tarawih orang ramai dengan 11 raka'at. (Beliau menjelaskan lagi):

Dan pada ketika itu, seorang qari (imam) biasanya akan membaca ratusan ayat sehingga kami terpaksa bersandar kepada tongkat-tongkat kami kerana terlalu lamanya berdiri. Dan setelah begitu lama, barulah kami selesai solat ketika hampir masuknya Subuh.” (Hadis Riwayat Malik, 1/341, Bab: Qiyam Ramadhan, no. 232. Dinilai sahih oleh al-Albani)

Apa yang diperintahkan ‘Umar ini selari dengan amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana penjelasan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً 

“Apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam sama ada di bulan Ramadhan mahu pun di bulan-bulan selainnya, beliau tidak pernah solat malam melebihi 11 raka'at.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 4/319, no. 1079)

Dalam sebahagian riwayat yang lain disebutkan tidak melebihi 13 rakaat termasuk rawatib ‘Isya’ atau Subuh sebagaimana penjelasan antaranya oleh Imam an-Nawawi dan Syaikh al-Albani rahimahumallah. Juga sebagaimana kata ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَتْ صَلَاتُهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً بِاللَّيْلِ مِنْهَا رَكْعَتَا الْفَجْرِ 

“Solat beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sama ada di bulan Ramadhan atau selainnya adalah tiga belas rakaat pada waktu malam yang di antaranya merupakan dua rakaat sunnah Subuh.” (Hadis Riwayat Muslim, 4/91, no. 1221)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz B. Bazz rahimahullah menjelaskan:

ومن تأمل سنته صلى الله عليه وسلم علم أن الأفضل في هذا كله هو صلاة إحدى عشرة ركعة، أو ثلاث عشرة ركعة، في رمضان وغيره؛ لكون ذلك هو الموافق لفعل النبي صلى الله عليه وسلم في غالب أحواله، ولأنه أرفق بالمصلين وأقرب إلى الخشوع والطمأنينة، ومن زاد فلا حرج ولا كراهية كما سبق. 

“Sesiapa yang mengambil berat sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dia akan faham bahawa yang afdhal (lebih utama) dalam perkara ini semua adalah solat Tarawih sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat, sama ada dalam bulan Ramadhan atau pun selainnya. Ini kerana ianya menepati amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan ia juga lebih ringan bagi para jama’ah, serta lebih dekat kepada khusyu’ serta thuma’ninah. Walau bagaimanapun bagi sesiapa yang menambah lebih dari itu maka tidak mengapa dan tidak dibenci sebagaimana telah berlalu penjelasannya.” (Ibnu Bazz,http://www.binbaz.org.sa/mat/8399)

Manakala bagi mereka yang menyatakan bolehnya solat tarawih dengan bilangan rakaat lebih dari itu, mereka berdalilkan dengan hadis solat malam dua rakaat-dua rakaat dan ditutup dengan satu rakaat sebagaimana telah penulis sebutkan. Juga sebagaimana amalan sebahagian salaf yang solat tarawih dengan 23 rakaat, 21 rakaat, 29 rakaat, 39 rakaat atau lebih dari itu.

Adapun bagi mereka yang berusaha mencontohi tarawih Rasulullah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertarawih tidak lebih dari sebelas rakaat dengan berdiri yang panjang. Sebagaimana yang kita maklum, Rasulullah adalah sebaik-baik contoh dan tauladan untuk kita ikuti. Apatah lagi para sahabat sendiri pun tetap bertarawih dengan tidak melebihi 11 rakaat.

Adapun riwayat-riwayat yang menyebutkan para sahabat pernah melaksanakan solat sunnah tarawih lebih dari 11 rakaat, kata Syaikh al-Albani semuanya adalah dhaif (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah atau sandaran. Kata Syaikh al-Albani rahimahullah:

وقد أشار الترمذي في سننه إلى عدم ثبةت عدد العشرين عن عمر ويره من الصحابة 

“Imam at-Tirmidzi telah mengisyaratkan dalam kitab Sunannya tentang tidak benarnya riwayat 20 rakaat tarawih yang disandarkan kepada ‘Umar serta para sahabat manapaun.” (Solatut Tarawih, m/s. 65)

Solat Tarawih (Qiyam Ramadhan) Kurang 11 Rakaat

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam selain solat malam dengan 11 atau 13 rakaat, sahih dari perbuatan beliau sendiri bersolat malam dengan 7 rakaat dan 9 rakaat untuk satu-satu malam.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan:
كَانَ يُوتِرُ بِأَرْبَعٍ وَثَلَاثٍ وَسِتٍّ وَثَلَاثٍ وَثَمَانٍ وَثَلَاثٍ وَعَشْرٍ وَثَلَاثٍ وَلَمْ يَكُنْ يُوتِرُ بِأَنْقَصَ مِنْ سَبْعٍ وَلَا بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ 

“Bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam biasa berwitir dengan empat rakaat kemudian tiga rakaat, enam rakaat dan tiga rakaat, lapan rakaat kemudian tiga rakaat, juga sepuluh rakaat kemudian tiga rakaat. Beliau tidak pernah melaksanakan witir kurang dari tujuh rakaat dan lebih dari tiga belas rakaat.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 4/123, no. 1155. Dinilai sahih oleh al-‘Iraqi dan al-Albani)

Dari apa yang disebutkan oleh ‘Aisyah ini juga dapat kita fahami bahawa solat malam secara umumnya juga disebut sebagai witir. ‘Aisyah tidak membezakan di antara solat yang genap dengan yang ganjil. Secara umumnya, witir dan solat sunnah lainnya yang dilakukan di malam hari adalah termasuk solat malam.

Kemudian sahih dari sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bolehnya solat malam dengan 5 rakaat, 3 rakaat, atau 1 rakaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُوتِرْ بِخَمْسٍ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُوتِرْ بِثَلَاثٍ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ 

“Solat witir adalah haq. Maka sesiapa hendak berwitir, dibolehkan dengan lima rakaat, atau tiga rakaat, atau satu rakaat.” (Hadis Riwayat Ibnu Majah, 4/35, no. 1180. An-Nasaa’i, 6/214, no. 1692. ad-Daruquthni, 2/22, no. 2. Al-Hafiz Ibnu Hajar menyatakan, “Disahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim.” Dinilai sahih oleh al-Albani)

Sebagaimana dalam satu riwayat yang sahih, ‘Utsman pernah mengkhatamkan al-Qur’an dalam satu malam dengan 1 rakaat witir tanpa diiringi solat-solat malam lainnya. Begitu juga dengan Sa’ad B. Abi Waqqash dan Mu’awiyah juga pernah melakukan 1 rakaat witir untuk satu malam tanpa diiringi solat-solat sunnah lainnya. Berwitir dengan satu rakaat tanpa iringan solat-solat sunnah lainnya adalah sebahagian amalan sejumlah sahabat. (Rujuk: Ibnu Hajar, Fathul Bari, 2/482)

Syaikh Husain B. ‘Audah al-Awaisyah adalah antara yang menyatakan bolehnya tarawih (Qiyam Ramadhan) dengan 1 rakaat, 3 rakaat, atau 5 rakaat dengan satu salam. Walau bagaimanapun beliau menyatakan, yang afdhal adalah dengan dua rakaat-dua rakaat, iaitu satu salam bagi setiap dua rakaat. Beliau menyatakan dalam kitabnya, al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah pada bab Solatut Tarawih. Begitu juga dengan guru beliau Syaikh al-Albani rahimahullah melalui kitabnya, Solatut Tarawih membenarkan solat tarawih (Qiyam Ramadhan) asalkan tidak lebih dari 11 rakaat. Wallahu a’lam.

Syaikh al-Albani adalah di antara barisan ulama yang berpegang kepada pendapat solat malam termasuk tarawih (Qiyam Ramadhan) itu tidak lebih dari 11 rakaat.

Demikianlah sebahagian pandangan dari sekian banyak pandangan para ulama berkaitan solat malam di bulan Ramadhan (Tarawih). Wallahu a'lam, setakat hari ini penulis tidak menemui mana-mana ulama lagi yang menyesatkan dan membid'ahkan Syaikh al-Albani rahimahullah atas sebab pendapat beliau dalam hal ini.
Fadhilat Solat Bersama Imam

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ 

“Sesungguhnya sesiapa yang solat bersama-sama imam (untuk qiyam Ramadhan) sehingga selesai, akan ditulis baginya ganjaran solat satu malam penuh.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, 3/299, no. 734)

Bagi seseorang yang melaksanakan dengan 11 rakaat, maka hendaklah dia menghabiskan dengan 11 rakaat. Bagi yang melaksanakan lebih dari itu, maka hendaklah dia mengikuti sehingga selesai juga. Begitu juga sekiranya imam melaksanakan kurang dari 11 rakaat atau selainnya, hendaklah dia menyelesaikannya bersama-sama imam bagi meraih ganjaran solat semalaman.

Witir Sebagai Penutup Solat Malam

Sebagaimana penjelasan dalam banyak hadis-hadis yang berkaitan dalam perkara ini dan juga berdasarkan sunnah-sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam secara umum, solat-solat malam itu ditutup (atau diakhirkan) dengan rakaat-rakaat yang ganjil atau disebut sebagai witir. Sama ada dengan 1, 3, 5, 7, atau 9 rakaat. Di antara hadis yang menganjurkan demikian adalah sebagaimana berikut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا 

“Jadikanlah yang terakhir dari solat-solat malam kamu itu yang ganjil rakaatnya (solat witir).” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 4/81, no. 943. Muslim, 4/118, no. 1245)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahawa satu solat witir (solat yang ganjil rakaatnya) adalah hanya untuk sekali sahaja bagi setiap satu malam. Beliau bersabda:
لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ 

“Tiada dua witir dalam satu malam.” (Hadis Riwayat Ahmad, 26/223, no. 16296. at-Tirmidzi, 2/283, no. 432. An-Nasaa’i, 6/172, no. 1661. Ibnu Khuzaimah, 2/156, no. 1101)

Walaupun terdapat hadis yang menganjurkan supaya mengakhirkan witir dari solat-solat malam lainnya, ini bukan bererti terlarang untuk melaksanakan solat-solat sunnah lainnya setelah berwitir. Kerana tsabit daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri beliau tetap ada melaksanakan solat sunnah lainnya setelah melakukan witir. Begitu juga dengan sebahagian sahabat juga demikian. Namun ia bukanlah untuk dijadikan sebagai kebiasaan. 

Doa Rasulullah Ketika Sujud di Akhir Witir

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan:
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ 

“Pada suatu malam, aku kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari katil (atau tempat tidur), maka aku pun mencarinya. Tiba-tiba tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau (dalam keadaan tegak lagi lurus) yang mana beliau sedang bersujud. Beliau ketika itu sedang mengucapkan (berdoa):
اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ 

“Ya Allah, aku berlindung dengan redha-Mu dari murka-Mu, dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari azab-Mu. Aku tidak dapat menghitung segala pujian ke atas-Mu. Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji ke atas diri-Mu sendiri.” (Hadis Riwayat Muslim, 3/36, no. 751)

‘Ali B. Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي آخِرِ وِتْرِهِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سُخْطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ 

“Bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau berdoa di hujung solat witir dengan doa:

“Ya Allah, aku berlindung dengan redha-Mu dari murka-Mu, dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari azab-Mu. Aku tidak dapat menghitung segala pujian ke atas-Mu. Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji ke atas diri-Mu sendiri.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 4/211, Bab: Qunut Witir, no. 1215. An-Nasaa’i, 6/260, Bab: Doa Ketika Witir, no. 1727. Dinilai sahih oleh al-Albani dan al-Arnauth)

Ucapan Setelah Witir

Ubay B. Ka’ab radhiyallahu 'anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ فِي الْوِتْرِ قَالَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ 

“Bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila selesai memberi salam dari solat witir, beliau pun mengucapkan Subhaanal Malikil Qudduus.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 4/215, no. 1218. Dinilai sahih oleh al-Albani)

Imam Ahmad B. Hanbal rahimahullah meriwayatkan dalam Musnadnya:

أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَكَانَ إِذَا سَلَّمَ قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، ثَلَاثًا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالْآخِرَةِ 

“Bahawasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah berwitir, beliau membaca Sabbihisma Rabbikal A’la, kemudian Qul Ya Ayyuhal Kaafiruun, dan kemudian Qul huwallahu Ahad. Dan apabila beliau selesai memberi salam, beliau pun mengucapkan, “Subhaanal Malikil Qudduus” sebanyak tiga kali dan pada ucapan yang ketiga beliau mengeraskan suaranya.” (Hadis Riwayat Ahmad, 24/76, no. 15358. Dinilai sahih oleh Syu’aib al-Arnauth)

Tarawih di 10 Malam Terakhir

Apabila tiba sahaja 10 malam yang terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersama-sama ahli keluarganya serta para sahabat yang lainnya akan lebih bersungguh-sungguh dalam ibadah dan menghidupkan malam-malamnya di masjid.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ 

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila memasuki fasa 10 hari yang akhir (dari bulan Ramadhan), beliau mengikat pakaiannya kuat-kuat, beliau menghidupkan malamnya dengan beribadah, dan beliau membangunkan keluarganya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Kitab: Solatut Tarawih, 7/153, no. 1884)

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan kepada kita:

صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ 

“Kami berpuasa bersama-sama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pada suatu bulan (Ramadhan), dan beliau tidak pernah sedikit pun melaksanakan solat malam bersama-sama kami di bulan tersebut sehingga berbaki tujuh hari (pada malam ke-23). Kemudian beliau solat bersama-sama kami (sebagai imam) sehingga berlalu sepertiga malam. Kemudian beliau tidak solat bersama-sama kami pada malam yang keenam. Dan beliau kembali solat bersama-sama kami pada malam yang kelima sehingga berlalu sebahagian malam. Kami pun segera bertanya:

“Wahai Rasulullah, alangkah baiknya jika engkau melaksanakan solat bersama-sama kami pada baki malam kami ini?”

Beliau menjawab, “Sesungguhnya sesiapa yang solat bersama-sama imam sehingga selesai, akan ditulis baginya ganjaran solat satu malam penuh.”

Kemudian beliau tidak keluar mengimami kami pada malam yang keenam, dan beliau mengimami kami lagi pada baki tiga malam (dari Ramadhan tersebut). Beliau solat bersama-sama kami untuk ketiga kalinya dengan mengajak sama ahli keluarga dan isteri-isteri beliau. Lalu kami pun solat bersama-sama beliau sehingga risau akan ketinggalan al-falah.

Aku (Jabir B. Nufair: perawi Abu Dzar) bertanya, “Apa dia al-Falah?”

Abu Dzar menjawab, “Makan Sahur.”.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, 3/299, no. 734. At-Tirmidzi menyatakan hadis ini hasan sahih)

Iringan Selawat dan Doa

Sebahagian besar dari kalangan masyarakat Islam di negara kita hari ini menyangka solat tarawih tanpa diselang-selikan dengan zikir-zikir tertentu, selawat-selawat, dan juga doa-doa berjama’ah maka ianya tidak sempurna. Sedangkan apa yang benar lagi sempurna adalah apa yang ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada kita.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersama-sama para sahabatnya qiyam di malam-malam Ramadhan (tarawih) tanpa ada selawat-selawat khusus tertentu mengiringinya. Tiada juga doa-doa khusus yang dibaca secara berjama’ah melainkan apa yang disebutkan dalam sebahagian riwayat iaitu doa qunut di akhir rakaat witir.

Apa yang lebih membimbangkan, ada di kalangan umat Islam hari ini yang mereka-cipta selawat-selawat khusus ke atas Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali bagi mengiringi solat-solat tarawih mereka. Sedangkan lafaz-lafaz selawat perlu diambil dari hadis-hadis yang sahih sebagaimana diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bukan kita yang memandai-mandai mereka-ciptanya sendiri.

Lebih parah, apa yang mereka cipta ini kemudian mereka bukukan dan sebarkan. Bagi mereka yang melaksanakan tarawih tanpa iringan doa mahupun selawat mula dipandang sinis dan serong pula. Akibat dari budaya suka mengubah-suai ibadah ini, ramai di kalangan umat Islam sendiri akhirnya tidak mengetahui tatacara sebenar tarawih Rasulullah yang sahih. Sebaliknya mereka menganggap apa yang telah diubah-suai itu pula sebenarnya yang datang dari Rasulullah?!

Dari itu, penulis amat berharap supaya hati dan dada-dada umat Islam hari ini dilapangkan dan dimudahkan untuk melihat kembali tatacara solat tarawih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari sumbernya yang benar berupa hadis-hadis dan sunnah-sunnah beliau yang mulia lagi sahih. Sekaligus menjauhi tokok-tambah yang tidak disyari’atkan lagi memberat-beratkan masyarakat. Biarlah kita beramal dengan sedikit tetapi menepati petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.