Dalil-Dalil Hukum Islam
STANDAR
KKOMPETENSI
1.
Memahami sumber hukum Islam
KOMPETENSI DASAR
18.1. Menjelaskan sumber hukum
yang disepakati dan yang diperselisihkan
INDIKATOR
·
Menjelaskan fungsi dan keduduk-an al-Qur’an sebagai sumber hukum
yang disepakati
·
Menjelaskan fungsi dan keduduk-an al-Sunnah sebagai sumber hukum
yang disepakati
·
Menjelaskan fungsi dan keduduk-an ijma’ sebagai sumber hukum
yang disepakati
·
Menjelaskan fungsi dan kedudukan istihsan sebagai sumber hukum
yang diperselisihkan
·
Menjelaskan fungsi dan keduduk-an istishab sebagai sumber hukum
yang diperselisihkan
·
Menjelaskan fungsi dan kedudukan maslahah mursalah sebagai
sumber hukum yang diperselisihkan
·
Menjelaskan fungsi dan kedudukan syad al-dzarai sebagai sumber hukum
yang diperselisihkan
·
Menjelaskan fungsi dan kedudukan syar’u man qablana sebagai
sumber hukum yang diperselisihkan
·
Menjelaskan fungsi dan keduduk-an mazhab shahabi sebagai sumber
hukum yang diperselisihkan
·
Menjelaskan fungsi dan keduduk-an al-urf sebagai sumber hukum
yang tidak disepakati
·
Menjelaskan fungsi dan keduduk-an dalalat al-iqtiran sebagai
sumber hukum yg diperselisihkan
TANBIH
( التنبه)
كَيْف تَقْضِى اِذَا
عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ : فَاءِنْ لَمْ يَكُنْ فِى
كِتَابِ اللهِ ؟ قًالَ: فَبِسُنَّةِ رَسٌول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سلم,
قال: فَاءِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسٌول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سلم
؟ اِجْتِهَد رَأي, قَال: الحمد لله وفَّقَ رَسُولَ رَسولِ اللهِ بِمَا يَرْضىَ
رَسول الله (رواه التر مذى)
Bagaimana
engkau dapat memutuskan, jika kepadamu disserahkan urusan peradilan ? Ia (Muaz)
menjawab: saya akanmemutuskan dengan kitabullah, bertanya lagi nabi saw, jika
tidak engkau dapatkan dalam kitabullah? Ia menjawab,”dengan sunnah rasulullah
saw, lalu nabi bertanya: apabila tidak engkau dapati dalam sunnah rasulullah
saw ? saya lakukan dengan ijtihad bi ra’yi’’ berkatalah Muaz”, maka nabi
menepuk dadaku dan bersabda, sewgala puji bagi Allah yang telah member taufik
kepada utusan rasulullah, sebagaimana rasulullah telah meridhainya.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (48)
“Dan
kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujian[421] terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut
apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu[422], kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,” (QS. Al Maidah: 48).
IFTITAH
Dalam hidup bersama, manusia membutuhkan panduan yang mengatur
tata laku kehidupan. Panduan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan. Jika panduan tersebut dilanggar, konsekuensinya
jelas: hukuman. Demikian halnya dalam Islam. Sebagai umat Islam, sudah
seharusnya kita menaati hukum Islam. Memang benar bahwa tidak ada paksaan untuk
memeluk agama Islam. Namun jika pilihan pada Islam sudah dijatuhkan, akibat
logisnya adalah menaati hukum Islam yang sudah dipilih tersebut.
Dalam Islam, sumber prima hukum Islam adalah Al-Qur’an. Sebagai
Khalik, Allah lebih mengetahui yang terbaik bagi manusia. Sesuatu yang kita
sangka buruk belum tentu buruk. Sangkaan itu muncul karena kita tidak atau
belum mengetahui hikmahnya. Jika mengetahuinya, niscaya kita jauh dari
prasangka buruk itu.
Setelah Al-Qur’an, sumber panduan kita adalah sunah Nabi.
Perbuatan, perkataan, dan tingkah laku Nabi adalah teladan bagi kita, umat
Islam. Jika berpegang teguh pada keduanya, niscaya kita akan selamat dunia dan
akhirat.
Al-Qur’an dan sunah Nabi tidak dapat berbicara sendiri. Keduanya
memerlukan penafsiran. Tugas menafsirkan inilah yang pertama-tama diemban akal.
Lebih jauh, Islam juga menghargai akal manusia sebagai sumber hukum. Sebab,
banyak permasalahan barn yang tidak ditemukan hukumnya dalam kedua sumber
hukum tersebut. Berdasarkan nalar yang sehat yang tidak bertentangan dengan
prinsip dan tujuan hukum Islam, nalar manusia tersebut dapat dijadikan sumber
hukum. Namun, sifat akal sebagai sumber hukum Islam bersifat pelengkap.
MENGENAL HUKUM ISLAM
Hukum Syariat
Pengertian syari’at
Secara bahasa, kata syariat berarti jalan. Secara istilah,
syariat adalah
خِطَابُ الشَّارِعِ الْمُتَعَلِّقُ
بِاَفْعَالِ الْمُتَكَلَّفِيْنَ بِالاِفِتِضَاءِ اَوِالتَّخْيِيْرِ اَوِ الْوَضْعِ
مَا طَلَبَ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ فِعْلُهُ
Artinya: Doktrin Allah
yang bersangkutan dengan perbuatan seorang mukalaf, baik berupa tuntutan atau
suruhan untuk memilih atau berupa ketetapan.
Hukum syariat mencakup segala doktrin Allah SWT yang disyariatkan
kepada manusia berupa akidah, akhlak, ibadah, ataupun muamalah.
Pembagian Hukum Syari’at
Ulama ushul fikih membagi hukum syariat menjadi dua macam, yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh`i. Penjelasan
tentang kedua hukum tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
Hukum Taklifi
Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi ialah
hukum yang 1) menuntut mukalaf melakukan perbuatan, 2) menuntut mukalaf meninggalkan
perbuatan, atau 3) menuntut mukallaf memilih antara melakukan atau
meninggalkan perbuatan. Agar lebih jelas, cermatilah contoh-contoh berikut.
Macam-macam hukum Taklifi
Berdasar isi tuntutannya:
a). Contoh hukum taklif yang menuntut mukalaf untuk mengerjakan
suatu perbuatan.
1) Berpuasa pada bulan Ramadan,
seperti terlihat jelas dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
Terjemahan: Wahai
orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
2)
Melakukan ibadah haji bagi orang yang mampu. Cermati Q.S. Ali Imran [3]: 97.
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ
إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (97)
Terjemahan: Dan (di antara)
kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke ke
Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.
b). Contoh hukum taklifi yang
menghendaki mukalaf untuk meninggalkan perbuatan.
1) Makan bangkai, darah, dan
daging babi, seperti tertera dalam Q.S. al-Maidah [5]: 3.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ … (3)
Terjemahan: Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.
2)
Berkata tidak sopan kepada kedua orang tua, seperti tersurat dalam Q.S.
al-Isra’ [17]: 23.
فلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ ….. (23)
Terjemahan: …. maka sekali-kali
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah …..
Dua contoh ayat tersebut berisi larangan yang tegas, sehingga
kita tidak diperbolehkan mengerjakannya. Bila melanggar.
c. Contoh hukum taklifi yang membebaskan mukalaf untuk memilih
antara mengerjakan atau meninggalkan perbuatan.
1) Seusai melaksanakan salat
Jumat, kita dibebaskan untuk bertebaran atau berdiam diri di rumah. Lihat Surah
al-Jumu’ah [62]: 10 berikut.
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ
فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)
Terjemahan: Apabila salat
telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi ….
2)
Mengqasar salat ketika bepergian jauh seperti tertera dalam Q.S. al-Nisa’ [4]:
101, “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar
salat, jika kamu takut diserang orang kafir.”
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ
يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا (101)
Berdasar ketegasan isi
tuntutannya
Melihat definisi di atas, maka hukum taklifi bisa berupa Tuntutan (
thalabun), Meninggalkan (tarkun) atau memilih (takhyirun). Sementara isi ketiga
hal tadi bisa jadi disampaikan tegas (sharih) atau tidak tegas. Jika tuntuntan
disampaikan secara tegas maka menjadi wajib, jika tuntutan disampaikan secara
tidak tegas maka menjadi sunnah, jika tuntutan meninggalkan disampaikan secara
tegas maka menjadi haram, jika tuntutan meninggalkan disampaikan secara tidak
tegas maka menjadi makruh, jika tuntutan antara memilih antara melakukan atau
meninggalkan maka menjadi mubah.
Wajib
Kalian tentu sering mendengar kata wajib. Sebab kata ini tidak
lagi menjadi istilah yang dimonopoli hukum Islam. Sekarang, secara gampangan
segala keharusan entah berhubungan dengan agama atau tidak bisa diwakili oleh
kata wajib. Menurut syara’, wajib adalah ,مَاطَلَبَ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ فِعْلُهُ sesuatu
yang diperintahkan (oleh Allah) agar dikerjakan secara pasti’. Perintah itu harus
dilakukan oleh mukalaf sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan.
Konsekuensi hukum wajib adalah pahala bagi yang mengerjakannya dan dosa bagi
yang meninggalkannya. Contoh hukum wajib adalah salat, puasa, membayar zakat,
menunaikan haji bagi yang mampu, berbakti kepada orang tua, dan lain
sebagainya. Semua perintah tersebut hukumnya pasti dan tegas.
Sunah
Sunah ialah perintah yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh
mukalaf secara tidak tegas. Perbedaanya dengan wajib adalah kadar ketegasan
perintah tersebut. Perintah dalam hukum sunah tidak sampai pads derajat wajib.
Hukum sunah pun punya konsekuensi. Sunah mendatangkan pahala bagi pelakunya,
tetapi tidak mendatangkan dosa dan siksa bagi yang meninggalkannya. Dengan
istilah lain, sunah terpuji jika dikerjakan dan tidak tercela jika
ditinggalkan. Sunah dalam istilah ulama ushul fikih disebut jugamandub, nafilah,
tatawwu’, mustahab, dan ihsan. Contoh
dari perkara yang sunah ialah mencatat hutang.
Mubah
Mubah adalah sesuatu yang oleh Allah diperbolehkan bagi mukalaf
untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain, Allah
tidak menyuruh dan tidak melarang. Mubah tidak berpahala jika dikerjakan dan
tidak pula berdosa jika ditinggalkan. Gampangnya, suka-suka kita mau
mengerjakannya silakan, mau meninggalkannya juga silakan, tidak ada yang
memberi sanksi. Contohnya, berburu setelah melakukan haji, bertebaran setelah
salat Jumat, dan sebagainya.
Makruh
Pengertiannya ialah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar
seseorang tidak mengerjakan sesuatu. Tapi perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu
itu sifatnya tidak pasti. Dengan kata lain, larangan tersebut tidak sampai ke
derajat haram. Contohnya, larangan Allah kepada manusia untuk bertanya sesuatu
yang apabila dijelaskan akan menyusahkan.
Haram
Haram ialah مَاطَلَبَ الشَّارِعُ الْكَفَّ عَنْ فِعْلِهِ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ tuntutan yang
tegas dari Allah SWT untuk tidak dikerjakan secara pasti.
Jadi tidak ada tawar-menawar, kecuali harus ditinggalkan. Konsekuensi dari
hukum haram adalah seseorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan
sedangkan bagi yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan kemuliaan.
Contohnya, berzina, mencuri, minum khamar, membunuh tanpa hak,
Hukum Wad’i
Hukum wadh’i ialah
hukum yang menjadikan sesuatu sebagai suatu sebab adanya yang lain; atau syarat
bagi sesuatu yang lain; atau penghalang (mani’) adanya
sesuatu yang lain. Jadi, jenis hukumwadh’i adalah sebab, syarat, dan penghalang (mani’).
Sebab
Sebab ialah
sesuatu yang oleh syari’ (pembuat
hukum, Allah) dijadikan sebagai sebab adanya sesuatu yang lain yang menjadi
akibatnya. Ketiadaan sebab menjadikan sesuatu yang lain itu pun tidak ada.
Dalam hukum, keberadaan sebab bersifat mutlak. Ketiadaan sebab menjadikan hukum
tidak ada. Contohnya, kewajiban salat menjadi sebab kewajiban mengambil wudu;
mencuri menjadi sebab adanya hukum potong tangan; atau orang yang berhasil memenangkan peperangan menjadi sebab kebolehan merampas harta
benda musuh.
Syarat
Syarat ialah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum.
Dengan tidak adanya syarat, hukum pun menjadi tidak ada. Tapi tidaklah pasti
dengan adanya syarat, hukum menjadi ada. Misalnya, kemampuan melakukan
perjalanan ke Baitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seseorang
mukalaf kehadiran saksi dalam akad pernikahan merupakan syarat bagi sahnya akad
nikah dan wudu sebagai syarat untuk sahnya salat.
Penghalang (mani’)
Hukum wadh’i yang
ketiga adalah penghalang (mani’, yaitu
sesuatu yang keberadaannya dapat meniadakan atau membatalkan hukum.Mani’ hanya muncul
ketika sebab dan syarat itu telah tampak secara jelas. Contohnya, si anak
adalah ahli waris dari orang tuanya. Namun, ia bisa tidak mendapatkan harta
warisan dari orang tuanya karena ada penghalang (mani’). Penghalang
itu bisa berupa kemurtadan si anak atau kematian orang tuanya ternyata
disebabkan pembunuhan oleh si anak.
Unsur-unsur Hukum Islam
Mahkum Fih
Mahkum Fih ialah
perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, kewajiban
memenuhi janji.
Syarat-syarat perbuatan yang dibebankan kepada mukalaf.
1.
Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukalaf, sehingga ia
dapat melakukan perbuatan itu sesuai dengan perintah. Berdasarkan syarat ini,
nas-nas Al-Qur’an yang bersifat global (belum jelas) tidak wajib untuk
diamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan. Contohnya, perintah haji dalam
Al-Qur’an. Perintah ini tidak wajib diamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan
dari Rasulullah. Tetapi, ketika Rasul sudah menjelaskan manasik haji, perintah
ini wajib dilaksanakan.
2.
Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki
wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh
mukalaf.
3.
Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan
oleh mukalaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Berdasarkan syarat ini, tidak
sah memberikan beban yang mustahil (di luar kemampuan) kepada mukalaf. Contohnya,
tidaklah mungkin manusia diperintah untuk terbang seperti burung.
Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘Alaih ialah
mukalaf yang mendapatkan khitab dari Allah di mana perbuatannya berhubungan
dengan hukum syariat.
Syarat-syarat mukalaf adalah sebagai berikut.
1.
Mukalaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nas-nas
Al-Qur’an atau sunah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang
tidak mengerti hukum taklif tidak dapat melaksanakan dengan benar spa yang
diperintahkan kepadanya. Adapun alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan
akal. Oleh karena itu orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan
mukalaf.
2.
Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang tergantung kepadanya.
Maksud ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar untuk menerima perintah
tersebut.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau
menjalankan hak dan kewajiban dikelompokan menjadi dua.
1) Tidak sempurna, ia dapat menerima hak
tetapi tidak layak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih
dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima wasiat, tetapi ia tidak
bisa menunaikan kewajiban.
2) Sempurna, apabila sudah layak
menerima hak dan layak melakukan kewajiban, yaitu orang-orang yang sudah dewasa
(mukalaf).
Bagaimana seluk beluk Al-Qur’an dan sunah Nabi? Bagaimana pula
kedudukan akal dalam Islam? Untuk lebih jelasnya, kalian dapat memahami
pembahasan berikut.
Sumber-sumber Hukum Islam Yang Disepakati
Al-Qur’an: Sumber Hukum Islam Utama
Dari segi bahasa, Al-Qur’an berarti bacaan. Secara istilah,
al-Qur’an adalah lafal berbahasa Arab yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad saw. melalui Jibril yang sampai kepada kita secara mutawatir, ditulis
dalam mushaf, disusun mulai Surah al-Fatihah dan diakhiri Surah an-Nas, dan
membacanya dianggap sebagai ibadah. Al-Qur’an merupakan wahyu yang tampak (wahy zahir), yaitu pesan Allah kepada
Nabi SAW. yang disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan kata-kata yang
sepenuhnya dari Allah.
Al-Qur’an merupakan mukjizat. Ia bersifat melemahkan para penentangnya.
Artinya, Al-Qur’an memiliki keistimewaan tak tertandingi, baik yang berhubungan
dengan uslub (gaya
bahasa), keindahan susunan redaksi, maupun jangkauan makna yang dikandungnya.
Otentisitas Al-Qur’an dijaga dan dijamin Allah. Salah satu bentuk penjagaan ini
adalah usaha pembukuan Al-Qur’an oleh para sahabat Nabi dan periwayatannya
secara mutawatir. Oleh karena itu, tidak ada perubahan baik berupa pengurangan
maupun penambahan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Jika ada seseorang yang
berusaha mengubahnya, niscaya ia akan ketahuan. Dengan demikian, kita percaya
sepenuhnya tanpa keraguan terhadap kedan keaslian Al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak diturunkan secara langsung dalam wujud tiga
puluh juz seperti yang sekarang biasa kita lihat dalam bentuk sebuah kitab
(buku). Ia diturunkan secara berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah
saw. Tentu saja ada maksud di balik keberangsuran ini. Pertama, tasbit al-fuad, memantapkan
hati berupa ketenangan dan kepuasan dalam menerima dan menjalankan isi
Al-Qur’an baik bagi Nabi maupun umatnya. Kedua,
tartil, yaitu membaca dengan baik dan lancar. Allah berkehendak agar
ayat-ayat Al-Qur’an dapat dihafal dengan baik secara menyeluruh sehingga
keasliannya dapat terjamin. Untuk memudahkan hat itu, diturunkanlah Al-Qur’an
secara sedikit demi sedikit dan bertahap. Seandainya Al-Qur’an diturunkan
sekaligus, niscaya umat Islam sulit untuk menghafalnya.
Dalam menjalani hidup, sering kali kita bingung akan sesuatu
yang hendak kita perbuat. Dalam kebingungan ini, kita memerlukan pedoman supaya
kebingungan kita tidak bertambah atau berlarut-larut. Untuk itu, tengoklah
Al-Qur’an. Tiada lain, Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk (huda) untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi manusia. Inilah salah satu wujud kasih sayang (rahmah) Allah kepada hamba-Nya,
umat manusia. Banyak sekali ayat yang menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah
petunjuk Allah kepada manusia. Misalnya, perhatikan ayat berikut.
7ù=Ï? àM»t#uä É=»tGÅ3ø9$# ÉOÅ3ptø:$# ÇËÈ Wèd ZpuH÷quur
tûüÏZÅ¡ósßJù=Ïj9 ÇÌÈy
Dengan melihat Al-Qur’an, kita bisa tahu dengan tegas apa yang
semestinya kita lakukan. Kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk; mana
yang haram dan mana yang halal; mana yang boleh dan mana yang terlarang.
Demikianlah, karena AI-Qur’an juga berfungsi sebagai pem-eda (furqan). Fungsi pembeda ini
ditegaskan Al-Qur’an dalam Surah al-Baqarah [2]: 185.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ …
(185)
Terjemahan, Bulan Ramadan
adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang benar dan yang batil.
Al-Qur’an juga diturunkan sebagai pelajaran (maui\zah). Melalui pengajaran
Al-Qur’an manusia akan terbimbing dalam kehidupannya sehingga kebahagiaan dunia
dan akhirat tercapai. Perhatikan penegasan Al-Qur’an dalam Surah Yunus [10]: 57
berikut.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ
جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى
وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (57)
Terjemahan 1 Wahai manusia!
Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh
bagi penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk Berta rahmat bagi orang yang
beriman.
1.
Kejelasan Makna Hukum dalam Al-Qur’an
Dilihat dari kejelasan maknanya, ayat Al-Qur’an terbagi menjadi
dua, yaitu ayat muhkamat dan
ayat mutasyabihat. Cobalah
perhatikan ayat berikut.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ…(7)
Terjemahan Dialah yang
menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat
yang muhkam-at, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain
mutasyabihat …. (Q.S.Ali Imran [3]: 7)
Apa maksud dua jenis ayat
tersebut?
1.
Ayat muhkam. Yaitu,
ayat yang jelas maknanya. Kita tidak ragu lagi ketika memahaminya. Kita juga
terhindar dari kemunculan beberapa pendapat dalam memaknainya. Ayat-ayat ini
dikelompokkan menjadi qat’iyyah
ad-dalalah (dalil yang hukumnya bersifat pasti). Contoh ayat muhkam adalah perintah salat dan
puasa (“aqim as-salah” dan “kutiba ‘alaikum as-siyam”). Untuk lebih jelas,
bukalah Al-Qur’an Surah Luqman [31]: 7 dan al-Baqarah [2]: 183. Secara tersurat
tidak ada makna lain dari ayat-ayat tersebut, kecuali perintah mendirikan salat
dan melaksanakan puasa.
2.
Ayat mutasyabih. Artinya,
ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan
beberapa kemungkinan. Keberadaan ayat mutasyabih disebabkan Al-Qur’an
menggunakan kata yang dapat digunakan untuk dua maksud. Ayat-ayat mutasyabih sifatnya zanniyah ad-dalalah (dalil
yang hukumnya bersifat dugaan/tidak pasti). Misalnya, kata quru’ dalam masalah
idah (masa menunggu seorang perempuan setelah berpisah dengan suaminya) dalam
Surah al-Baqarah [2]: 228. Kata quru
dapat berarti suci, dapat pula berarti haid.
2. Al-Qur’an
sebagai Sumber Hukum
Umat Islam sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam
utama. Al-Qur’an merupakan pedoman paling otoritatif bagi umat Islam, sehingga
hukum-hukumnya adalah undang-undang yang harus diikuti dan ditaati. Kewajiban
untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum ditegaskan oleh Allah SWT.
dalam Surah an-Nisa’ [4]: 59.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ … (59)
Terjemahan: Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunahnya).
Sunah: Sumber Hukum Islam Kedua
Bila Al-Qur’an adalah wahyu yang tampak, sunah adalah wahyu internal
(wahy batin). Wahyu internal disampaikan Allah kepada Nabi SAW dalam bentuk
inspirasi atau ilham tentang suatu konsep. Nabi kemudian menyatakan konsep
tersebut dengan bahasanya sendiri. Jadi, seluruh perkataan Nabi termasuk wahyu.
Secara bahasa, sunah artinya jalan, cara, atau metode. Bisa pula
ia berarti perilaku, tabiat, watak, atau hukum. Sedangkan menurut istilah,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Zahra, sunah adalah
اَقْوَالُ النَّبِىِّ وَاَفْعَالُهُ
وَتَقْرِيْرَاتُهُ
Artinya : Perkataan,
perbuatan, dan pengakuan Nabi.
Dengan demikian, segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik
berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi terhadap suatu peristiwa, dapat
dikatakan sunah. Dari pengertian di atas, dapat pula disimpulkan bahwa sunah
Nabi terbagi menjadi tiga macam, yaitu sunah yang terkait dengan perkataan
Nabi, sunah yang terkait dengan perbuatan Nabi, dan sunah yang terkait dengan
pengakuan Nabi.
1.
a. Macam-macam Sunah
1) Sunah
Qauliyah
Qaul artinya
perkataan, sedangkan qauliyah berarti
yang berkaitan dengan perkataan. Jadi, sunah qauliyah adalah
seluruh perkataan Nabi. Perkataan Nabi tersebut didengar oleh sahabat dan
diteruskan kepada tabi’in. Contohnya, sahabat mendengar bahwa Nabi berkata,
“Barang-siapa yang tidak salat karena tertidur atau lupa, hendaklah ia
mengerjakan salat pads saat ia telah teringat”.
Contoh lain:
عَنْ يَحْيَ بْن حَسَنٍ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ لاَضَرَرَوَلاَ ضِرَارَ (رواه مَالك)
Artinya: Dari Yahya bin
Imarah bin Hasan Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak boleh membuat kesusahan dan
tidak boleh membalas dengan kesusahan juga.“ (H. R. MaIik)
2) Sunah Fi’liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan
diperhatikan oleh sahabat Nabi disebut dengan sunah fi’liyah.Perbuatan Nabi dapat
beraneka ragam bentuknya, dilihat dari kedudukan Nabi sebagai manusia biasa dan
utusan Allah.
Pertama, perbuatan
Nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah dikerjakan manusia pada umumnya,
seperti cara makan, minun, berdiri, duduk, berpakaian, memelihara jenggot, dan
mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat Nabi sebagai manusia biasa. Menurut
sebagian ulama, kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu dapat berdampak hukum,
yaitu sebagai sunah untuk diikuti. Tapi, sebagian ulama lain mengatakan bahwa
kebiasaan-kebiasaan Nabi seperti itu tidak berdampak hukum dan dengan demikian
tidak harus diikuti.
Kedua, perbuatan
Nabi yang hanya khusus dilakukan oleh Nabi, tapi tidak wajib bagi umatnya untuk
mengikuti. Misalnya, Nabi wajib salat Duha, Tahajud, dan berqurban. Umat Islam
hanya disunahkan melaksanakannya. Contoh lain, Nabi boleh menikahi perempuan
lebih dari empat, namun umatnya tidak boleh lebih dari empat.
Ketiga, perbuatan
Nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, seperti
cara salat, puasa, haji, jual beli, dan utang-piutang. Dengan demikian, semua
perbuatan itu berdampak pada pembentukan hukum bukan hanya bagi Nabi, melainkan
juga bagi umatnya. Misalnya, hadis Nabi berikut.
عَنْ مَالِكٍ بْنِ اَلْجُوَيْرِثَ
قََالَ قَالَ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوْا كَمَا
رَاَيْتُمُوْنِي اُصَلِّي (رواه البخارى)
Artinya: Dari Malik bin
al–Juwairis is berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Salatlah kamu sebagaimana
kamu melihat aku salat.”‘ (H.R. Bukhari)
3) Sunah Taqririyah
Sunah taqririyah adalah
sikap Nabi terhadap suatu kejadian (perbuatan atau perkataan sahabat) yang
dilihatnya. Melihat kejadian tersebut, Nabi ada kalanya mendiamkannya, tidak
menunjukkan tanda-tanda mengingkarinya, menyetujuinya, atau menganggapnya
sebagai perbuatan baik. Inilah bentuk ikrar Nabi terhadap kejadian tersebut,
sehingga perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan Nabi sendiri yang hukumnya
boleh dilakukan. Contohnya, ketika Nabi mendiarnkan orang yang memakan binatang
sebangsa biawak. Diamnya Nabi ditafsirkan sebagai kebolehan memakan daging tersebut. Seandainya daging tersebut
haram, niscaya Nabi tidak akan tinggal diam. Ia pasti melarangnya.
2.
Periwayat Sunah
Lihat dari jumlah orang yang meriwayatkannya, sunah dapat
dibedakan menjadi tiga.
1) Hadis Mutawatir, yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh sekelornpok perawi dan di antara mereka tidak mungkin
bersepakat untuk mengatakan dusta, karena jumlah mereka yang banyak, memiliki
sifat jujur, dan berbeda tempat. Dari kelompok inilah kemudian diceritakan
lagi oleh kelompok perawi selanjutnya yang sepadan hingga sampai kepada kita
tanpa ada kebohongan. Hadis mutawatir banyak berisi tentang perbuatan Nabi
seperti salat, puasa, haji, azan, dan sebagainya. Sedikit sekali hadis mutawatirini dalam bentuk
perkataan Nabi (sunah qauliyah). Hadis mutawatirini sangat tinggi
derajatnya sehingga dapat dijadikan sumber hukum yang qa’ti (‘ilm yaqin bi ad-daruri).
Contoh hadis mutawatir.
عَنْ عَامِرِبْنِ عبْدِاللهِ بْنِ
الزّبَيْرِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا مَقْعَدَهُ مَنَ النَّارِ (رواه
البخاري)
Artinya:Dari Amir bin Abdullah
bin Zubair dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Siapa saja yang
sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah mengambil tempat di neraka. “‘
(H.R.Bukhari)
2)
Hadis Masyhur. Yaitu
hadis yang diriwayatkan dari Rasul oleh satu atau dua kelompok sahabat yang
tidak sampai tingkatmutaw<tir. Kernudian,
hadis ini disampaikan kepada orang banyak yang selamat dari kesepakatan berdusta
yang jumlahnya mencapai batas ukuran hadis mutawatir. Kehujahan
hadis masyhur ini tidak sampai kepada hadis mutawatir. Menurut
Abu Hanifah, tingkat kehujahannya sampai pada peringkat ilmu yakin. Akan tetapi
para fukaha yang lain menganggapnya sampai ke peringkat zan seperti hadis ahad.
3) Hadis Ahad. Yaitu hadis yang
disampaikan dan diterima dari Nabi secara perorangan dan dilanjutkan
periwayatannya sampai kepada perawi terakhir secara perorangan pula. Kehujjahan
hadis ahad dalam hukum hanya mencapai peringkat zan.
Dilihat dari dari kualitasnya, hadis secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga.
1) Hadis Sahih. Yaitu hadis yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil dan memiliki ingatan
yang kuat, serta tidak terdapat kejanggalan dan ‘illat (penyakit/cacat).
Hadis sahih ini terbagi menjadi sahih li\zatih dan
sahih ligairihi.
2) Hadis Hasan, yaitu hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil namun lemah
ingatannya, tidak terdapat kejanggalan di dalamnya, dan tidak berillat. Hadis
hasan terbagi menjadi hasan li\zatih dan
hasan ligairih.
3) Hadis Da’if, yaitu hadis yang tidak
memenuhi standar hadis sahih dan hadis hasan.
3.
Kedudukan Sunah terhadap Al-Qur’an
Tidak ada keraguan bahwa sunah merupakan sumber hukum Islam.
Lalu, bagaimana kedudukan sunah Nabi terhadap Al-Qur’an?
1) Ta’kid
dan taqr-ir. Maksudnya, menguatkan dan
mengukuhkan hukum yang ada dalam Al-Qur’an. Jadi kedudukan hukum itu sangat
kuat karena berdasar pada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan hadis. Contohnya,
hukum wajib salat, puasa, zakat, haji, larangan syirik kepada Allah, menyakiti
kedua orang tua, membunuh tanpa hak, dan sebagainya. Semua hukum tersebut
ditegaskan oleh Al-Qur’an, kemudian dikokohkan oleh hadis Nabi.
2) Bayan,
taqyid, dan takhsis. Artinya, merinci dan menafsiri kata-kata yang
masih global, membatasi, dan mengkhususkan hukum-hukum yang masih bersifat umum
dalam Al-Qur’an. Contohnya, merinci waktu salat. Al-Qur’an hanya mengatakan
bahwa:
… إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (103)
Terjemahan: Sungguh, salat
itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
(Q.S. an-Nisa’ [4]: 103)
Al-Qur’an tidak menjelaskan waktu pelaksanaan salat. Ketentuan
waktu ini dijelaskan oleh hadis Nabi bahwa waktu Zuhur adalah apabila matahari
telah condong dan bayang-bayang sudah sama panjang dengan bends aslinya.
Sedangkan, waktu Asar adalah selama matahari belum menguning. Waktu Magrib
adalah selama mega belum hilang. Waktu Isya adalah sampai sebelum fajar. Waktu
Subuh adalah sejak terbitnya fajar sampai sebelum matahari terbit.
3) Sunah dapat menetapkan hukum
baru yang tidak ada dalam Al-Qur’an. Contohnya, hadis dengan tegas mengharamkan
memadu perempuan dengan bibinya (saudara ayah atau ibu), haram memakan binatang
buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam, serta memakai kain sutra dan
memakai cincin emas bagi laki-laki. Hukum semua ini tidak terdapat dalam
Al-Qur’an, tetapi ditemukan dalam hadis Nabi.
4.
Sunah yang Mengandung Hukum
Secara umum, sunah Nabi menjadi teladan bagi umatnya. Namun
dilihat dari sudut pandang hukum, ternyata tidak semua sunah harus diikuti,
bahkan ada sunah yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya. Berkaitan dengan hal
tersebut, ulama mengelompokkan sunah menjadi dua kelompok.
1) Sunah tasyri’ atau sunah yang
berdaya hukum dan mengikat, sehingga wajib diikuti. Sunah yang berdaya hukum
ini meliput aspek-aspek kehidupan manusia yang berhubungan dengan hal-hal berikut.
a) Akidah. Yaitu, semua sunah yang
menjelaskan keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, rasul, wahyu, Hari Kiamat,
malaikat, dan sebagainya. Semuanya bermuatan hukum, yaitu wajib untuk ditaati
oleh umatnya.
b) Akhlak. Sunah yang mengandung
ajaran akhlak, baik mengenai hubungan dengan Allah seperti salat, berdoa,
tawakkal, dan sabar maupun mengenai hubungan antarmanusia seperti adab
bertetangga, menepati janji, membantu anak yatim dan orang miskin, dan
sebagainya. Semua sunah yang berkaitan dengan akhlak berdampak hukum, yaitu
wajib bagi untuk mengikutinya.
c) Hukum
amaliah. Yaitu sunah yang mengandung penetapan bentuk-bentuk ibadah,
pengaturan muamalah antar manusia, memisahkan hak dan kewajiban, menyelesaikan
persengketaan antar umat secara adil. Hadis-hadis ini semua dapat dijadikan
sumber hukum dan kita wajib mematuhinya.
2) Sunah non-tasyri’ atau sunah yang tidak
mengandung hukum. Maksudnya, sunah yang tidak harus diikuti. Oleh karena, itu
sifatnya tidak mengikat. Sunah ini biasanya menyangkut hal-hal yang
berhubungan dengan:
a) Perbuatan Nabi sebagai manusia biasa,
seperti cara makan, minum, dan berpakaian.
b) Perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman
pribadi atau kebiasaan dalam pergaulan, seperti urusan pertanian, kesehatan,
mengasuh anak, dan sebagainya.
c) Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari
tindakan pribadi Nabi dalam keadaan tertentu, seperti penempatan pasukan,
pengaturan barisan, dan penentuan tempat dalam peperangan.
Sunah bukan tasyri’ tidak
mengandung hukum, tidak mengikat, serta tidak mengandung tuntutan atau
larangan. Sebagai umat Nabi, kalian dapat saja menirunya, namun sifatnya tidak
mengikat. Artinya, tidak ada keharusan untuk mengikutinya.
Berpedoman pada Al-Qur’an
dan Hadis
Al-Qur’an dan hadis diturunkan kepada manusia sebagai pedoman
hidup. Sebagai orang yang beriman, kita melaksanakan hukum-hukum Allah dan
Rasul-Nya. Perilaku kita tidak boleh menyimpang dari segala hal yang sudah
digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika kita mau melaksankan ajaran Allah dan
Rasul-Nya, kita akan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Hukum Allah dan Rasul-Nya adalah yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia.
Allah-lah yang telah menciptakan manusia. Dia membuat hukum yang sesuai dengan
fitrah manusia. Tidak ada kata susah dan sulit untuk melaksanakan ajaran Allah
dan Rasul-Nya. Sebab, selain sejalan dengan fitrah manusia, hukum Al-Qur’an
selalu memerhatikan aspek kemudahan dan selalu menghindari beban yang
memberatkan manusia. Tidak ada alasan bagi kita untuk berpaling dari hukum
Allah dan Rasul-Nya. Bukankah Allah telah memerintahkan kita untuk taat
kepada-Nya dan Rasul-Nya (Q.S. an-Nisa’ [4]: 4)? Selain itu, Rasulullah pernah
bersabda sebagai berikut.
عَنْ عُ مَروبْنِ اَلْخَطَابِ قَالَ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ تَرَكْتُ فِيْكُمْ
اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدًا مَااِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كَتَابُ اللهِ
وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ (رواه مالك)
Artinya: Dari Umar bin
Khattab ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Aku tinggalkan untuk kalian dua
perkara, jika kalian berpegang kepada keduanya maka selamanya kalian tidak akan
tersesat: Kitabullah dan sunah Rasul-Nya.” (H.R. Malik)
Ra’yu (Nalar) sebagai Sumber Hukum Pelengkap
Secara bahasa, kata ra’yu artinya
penglihatan, pendapat, dan pandangan. Dalam Islam, ra’yu menjadi sumber hukum
Islam pelengkap setelah Al-Qur’an dan sunah Rasulullah. Inilah salah satu bukti
bahwa Islam sangat menghargai akal. Gunakan akal pikiran, nalar. Itulah seruan
Al-Qur’an kepada manusia. Dari aktivitas manusia bernalar dan berpikir inilah
lahir suatu hukum yang diakui sebagai hukum Islam.
Ra’yu sebagai
sumber hukum Islam memiliki dasar yang kuat. Dalam Al-Qur’an, banyak sekali
ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya. Misalnya, Allah berfirman
dalam Surah ar-Rum [30]: 8.
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ مَا خَلَقَ
اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ
مُسَمًّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ (8)
Terjemahan: Dan mengapa
mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? ….
Bisa jadi kalian bertanya-tanya, kapan ra’yu bisa dijadikan sumber
hukum Islam? Ra’yu dapat
dijadikan sumber hukum Islam dalam perkara hukum yang tidak ditemukan hukumnya
dalam Al-Qur’an ataupun sunah Rasulullah.
Allah melalui syariat-Nya mempunyai tujuan yang merupakan ruh
risalah Islam. Maksud Allah dalam menetapkan hukum adalah mendatangkan
kemaslahatan (kebaikan) dan menjauhkan kerusakan bagi umat manusia. Oleh karena
itu, pertimbangan maslahat dan mafsadat dapat dijadikan pijakan ra’yu dalam menetapkan hukum
yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan hadis.
Hukum yang sudah secara jelas dan tegas dinyatakan oleh
Al-Qur’an ataupun hadis tidak memperkenankan ra’yu untuk
digunakan. Ra’yu berperan
ketika suatu peristiwa atau keadaan belum ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an
ataupun sunah Rasul.
Sepanjang sejarah hukum Islam, ra’yu telah
digunakan untuk menetapkan hukum. Seiring bergulirnya waktu, penggunaan ra’yuuntuk menetapkan suatu
hukum tentu saja menjadi lebih besar. Banyak persoalan baru yang muncul,
sedangkan hukumnya tidak ada dalam Al-Qur’an ataupun hadis. Apakah sesuatu
tersebut harus kosong dari hukum (tidak ada hukumnya)? Tentu saja tidak
demikian, karena mengosongkan hukum sesuatu bertentangan dengan tujuan hukum
Islam. Oleh karena itu, ra’yu sangat
berperan untuk memecahkan hukum baru yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an
dan hadis.
Demikianlah, ra’yu merupakan sumber hukum pelengkap yang akan dibutuhkan
sepanjang masa. Contohnya kasus hukum operasi plastik, bedah mayat,
pencangkokan jantung, pencangkokan kornea mates, dan lain sebagainya. Semua
kasus ini tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis, sehingga tampillahra’yu untuk menetapkan hukumnya.
|
BERILAH PENJELASAN
PERNYATAAN PADA KOLOM BERIKUT
I.
NO
|
Pokok-pokok isi Al-Qur’an
|
NO
|
Kedudukan As-Sunah dalam
Al-Qur’an
|
1
|
|
1
|
|
2
|
|
2
|
|
3
|
|
3
|
|
4
|
|
4
|
|
II.
NO
|
Pembagian As-Sunah
|
Pengertiannya
|
Contohnya
|
1
|
Sunah Qauliyah
|
|
|
2
|
Sunah Fi’liyah
|
|
|
3
|
Sunah Taqririyah
|
|
|
4
|
Sunah hamiyah
|
|
|
III.
NO
|
Macam-hukum taklifi
|
Pengertiannya
|
Contohnya
|
1
|
Ijab/ Fardhu
|
|
|
2
|
Nadb
|
|
|
3
|
Tahrim
|
|
|
4
|
Karahah
|
|
|
5
|
Ibahah
|
|
|
|
A. Pilihlah Salah
Satu Jawaban A, B, C, D Atau E Dengan Memberi Tanda Silang (X) Pada
Jawaban Yang Benar !
1.
Yang tidak termasuk dasar-dasar Al-Qur’an dalam menetapkan hukum
adalah …..
1.
Berpahala bagi yang mengerjakan
2.
Berangsur-angsur
3.
Tidak memberatkan
4.
Tidak menyulitkan
5.
Menyedikitkan beban
6.
Rosulullah telah memperagakan cara Sholat, peragaan tersebut
termasuk …..
1.
Sunnah qouliyah
2.
Sunnah hammiyah
3.
Sunnah taqririyah
4.
Sunnah amaliyah
5.
Sunnah fi’liyah
6.
Sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan (diamalkan) oleh
Nabi, tetapi tidak sempat dikerjakan disebut …..
1.
Sunnah qouliyah
2.
Sunnah hammiyah
3.
Sunnah taqririyah
4.
Sunnah amaliyah
5.
Sunnah fi’liyah
6.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah jelas dan terang maksud dan hukum
yang dikandungnya sehingga tidak memerlukan penafsiran adalah pengertian dari
…..
1.
Ayat muhkamad
2.
Ayat mutasyabihat
3.
Ayat qur’an kulli
4.
Ayat qur’an juz’i
5.
Ayat madaniyah
6.
Ar ra’yu adalah sebagai sumber pelengkap dalam syari’at Islam.
Pengertian Ar-Ra’yu adalah …..
1.
Menafsirkan ayat-ayat ahkam
2.
Menta’wil ayat mutasyabihat
3.
Hasil pemikiran manusia
4.
Menghubungkan ayat yang satu dengan yang lain
5.
Menerangkan sebab nuzul
7.
Di bawah ini yang tidak termasuk fungsi Al-Qur’an ialah …..
1.
Menjadi pedoman hidup
2.
Membawa kabar gembira
3.
Memberi motivasi kemajuan ilmu pengetahuan
4.
Sebagai obat penyakit rohani
5.
Berangsur-angsur dalam menetapkannya
8.
Sifat ayat tersebut di bawah ini adalah …..
وَاَقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَاَتُوا
الزَّكَاة
1.
Kulli
2.
Far’i
3.
Tafsili
4.
Muhkamad
5.
Mutasyabihat
6.
Ayat dibawah ini yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an menjadi sumber
hukum Islam yang utama adalah …..
a. وَننَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
b. يُرِيْدُ الله ُبِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
c. وَهَذَا كِتَابٌ اَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَبِعُوْهُ وَاتَقُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
d. اَقِيْمُوا الصّلآةَ وَاَتُوا الزَّكَاةَ
e. وَاِنَّهُ لَهُدًى وَرَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ
1.
هِيَ مَا صَدَرَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص.م مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ
Ta’rif tersebut diatas adalah pengertian dari …..
1.
As-Sunah
2.
Al-Qur’an
3.
Hadits qudsi
4.
Qoul sahabat
5.
Bid’ah
6.
Ayat-ayat berikut menunjukkan bahwa sunnah merupakan sumber
hukum Islam yang kedua, kecuali ….
a. وَمَا اَتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
b. اَطِيْعُوا الله َوَاَطِيْعُوا الرّسُوْلَ وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ
c. مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهُ
d. وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
e. فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَبْئ ٍفَرُدُّوهُ اِلىَ اللهِ وَارَسُوْلِهِ
1.
Yang dimaksud وَاَْنْزَلْنَا اَلَيْكَ الذِّكْرَ لَتُبَيِّنً لِلنَّاسِ adalah …..
1.
Perkataan Nabi
2.
Sunnah fi’liyah
3.
Al-Qur’an
4.
Hadits qudsi
5.
Ijma’
6.
As-Sunah, dalam pengertian bahasa berarti …..
1.
Jalan yang ditempuh
2.
Lawan kata bid’ah
3.
Jalan yang sudah biasa
4.
Sesuatu yang dilakukan sahabat
5.
Jawaban a, b, c dan d semua benar
1.
Sumber pelengkap dalam hukum Islam adalah …..
1.
Hadits qudsi
2.
Ijma’
3.
Ar Ra’yu
4.
Qiyas
5.
Urf
6.
Orang yang sudah baligh, berakal disebut pula dengan …..
1.
Muallaf
2.
Muallim
3.
Musyadiq
4.
Musyta’mah
5.
Mukalaf
6.
Al-Qur’an secara bahasa berarti …..
1.
Wahyu
2.
Membaca
3.
Tuntutan
4.
Bacaan
5.
Amalan
16. Ayat di bawah merupakan salah satu dasar hukum Al-Qur’an
dalam menetapkan hukum…
#sÎ)ur y7s9r’y
Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs% ( Ü=Å_é& nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ) Èb$tãy
( (#qç6ÉftGó¡uù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 crßä©öt ÇÊÑÏÈ
1.
Tidak memberatkan
2.
Berangsur-angsur
3.
Memberatkan
4.
Menyedikitkan beban
5.
Meringankan
17. Untuk meninggalkan sesuatu, atau membolehkan memilih
antara melakukan atau meninggalkan sesuatu hukum yang menetapkan hukum/
tuntutan terhadap orang mukallaf untuk melakukan sesuatu atau tuntutan disebut
…..
1.
Taklifi
2.
Mahkum bihi
3.
Mani’
4.
Wad’i
5.
Mahkum ‘alaih
18. Hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
atau penghalang untuk berlakunya sesuatu hukum disebut …..
1.
Taklifi
2.
Mahkumbihi
3.
Mani’
4.
Wad’i
5.
Mahkum ‘alaih
19. Perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum
syara’ disebut …..
1.
Taklifi
2.
mahkum bihi
3.
Mani’
4.
Wad’i
5.
Mahkum ‘alaih
20. Amal perbuatan orang mukallaf yang menjadi tempat berlakunya
hukum Allah adalah
1.
Taklifi
2.
Mahkum bihi
3.
Mani’
4.
Wad’i
5.
Mahkum ‘alaih
B. Isilah
Titik-Titik Dibawah Ini Dengan Jawaban Yang Tepat !
1.
Al-Qur’an menurut pengertian bahasa artinya …………
2.
Al-Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah …………..
3.
Sifat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah bersifatKULLI, artinya
…………
4.
وَاَْنْزَلْنَا اَلَيْكَ الذِّكْرَ لَتُبَيِّنً kelanjutannya adalah …………..
5.
Arti ayat tersebut diatas adalah ………….
6.
Perbuatan apa saja yang dilakukan oleh Rosulullah disebut Sunah
…………..
7.
Penetapan dan pengakuan Nabi Muhammad SAW atau diamnya Nabi
dalam melihat perbuatan sahabat disebut Sunah … ………….
8.
Ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya dan tidak memerlukan
penafsiran disebut ayat …………….
9.
Ayat-ayat yang memerlukan penafsiran disebut ayat ………………
10.
Perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’
dinamakan …………….
C. Jawablah
Pertanyaan-Pertanyaan Dibawah Ini Dengan Singkat Dan Jelas !
1.
Al-Qur’an menurut bahasa berarti
Jawab :
1.
Sebutkan pokok-pokok isi Al-Qur’an!
Jawab :
1.
Jelaskan pengertian عدم الحدج
( tidak memberatkan dalam menetapkan hukum ) pada ayat-ayat Al-Qur’an!
Jawab :
1.
Apa yang dimaksud ayat-ayat Al-Qur’an bersifat Juz’I dan Kulli ?
Jawab :
1.
Sebutkan dan jelaskan macam-macam As-Sunah !
Jawab :
1.
Tulislah ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa As-Sunah adalah
sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an !
Jawab :
1.
Rosulullah inginberpuasa pada tanggal 9 Muharram, namun belum
terlaksana. Menurut sebagian ulama ini tetap dipandang ssebagai sunah, disebut
dengan …..
Jawab :
1.
Sunah qouliyah / perkataan Rosul disamping disebut “Khabar” …..
Jawab :
9. Ayat tersebut di atas merupakan sifat hukum yang
ditunjukkan Al-Qur’an yang bersifat …………..
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur
yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Jawab :
10. Sunah dalam pengertian bahasa berarti …..
Jawab :
STANDAR KOMPETENSI
1.
Memahami sumber hukum Islam
KOMPETENSI DASAR
18.2.
Menunjukkan penerapan sumber hukum yang disepakati dan yang tidak disepakati
ulama
INDIKATOR
·
Menunjukkan contoh produk hu-kum yang bersumberkan al-Qur’an
·
Menunjukkan contoh produk hu-kum yang bersumber al-Sunnah
·
Menunjukkan contoh produk hukum yang bersumberkan ijma’
·
Menunjukkan contoh produk hukum dari istihsan
·
Menunjukkan contoh produk hukum dari mashlahah mursalah
·
Menunjukkan contoh produk hukum dari istishhab
·
Menunjukkan contoh produk hukum dari syar’u man qablana
·
Menunjukkan contoh produk hukum dari mazhab shahabi
·
Menunjukkan contoh produk hukum dari syadudz dzara’i
·
Menunjukkan contoh produk hukum dari al-‘urf
Menunjukkan contoh produk hukum dari dalalatul iqtiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar