Minggu, 30 Juni 2013

Al Ahkam Asy Syar’iyah


Al Ahkam Asy Syar’iyah


Memahami hukum-hukum syar’i
Menjelaskan tentang hukum taklifi dan penerapannya dalam Islam
TANBIH
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٨﴾
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (Q.S al Baqarah/2:188)
IFTITAH
Manusia membutuhkan pedoman atau panduan untuk mengatur tata laku kehidupannya. Pedoman itu menentukan perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sebagai umat Islam, pedoman itu kita dapat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita wajib mentaatinya. Al-Qur’an adalah sumber pokok hukum Islam yang pertama dan As-Sunnah berfungsi untuk memperkuat, memperjelas dan menetapkan yang belum disebut dalam Al-Qur’an. Rasulullah SAW menjadi uswatun hasanah bagi kita.
Al-Qur’an mengandung hukum-hukum yang kebanyakan bersifat universal. Hukum suatu masalah kadang berada di beberapa surat dan ayat yang berbeda. Misalnya, hukum pernikahan terdapat pada surat Al-Baqarah, surat Ath-Thalaq dan lain-lain sehingga kadang hukum-hukum dalam Al-Qur’an tidak mudah dipahami.
Ketika nabi Muhammad SAW masih ada, setiap muncul masalah baru atau para sahabat kesulitan mamahami kandungan Al-Qur’an, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Begitu juga pada masa sahabat dan tabiin, hal itu masih mudah dilakukan.
Ketika Islam sudah tersiar keluar negara Arab, tidak semua orang dengan mudah memahami Bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di sinilah Islam memberi ruang bagi akal manusia untuk menafsirkannya. Beruntunglah kita pada awal abad pertama banyak fatwa Imam Abu Hanifah (80-150 H) tentang kaidah-kaidah memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah
Salah seorang muridnya yang bernama Abu Yusuf pernah mencatatkan fatwa-fatwa itu yang kemudian dikenal sebagai aggaran Ushul Fiqih. Pada abad kedua, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (150-204H) termasyhur sebagai yang pertama menyusun Ushul Fiqih secara sempurna. Catatan-catatan itu sampai sekarang tetap terpelihara dalam kitab Ar-Risalah. Sehingga meskipun muncul masalah baru yang belum ditentukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kita akan lebih mudah menentukannya untuk kemaslahatan kehidupan manusia. Pada bab ini kita akan membahas tentang hukum syar’i yang berisi tentang hukum taklif, wadh’i, mahkum bihi dan mahkum ‘alaih. Silahkan disimak dengan seksama.
A. Pengertian Hukum Syar’i
Pengertian secara bahasa adalah :
اِثْباَتُ شَيءٍ الِىَ شَيءٍ
“Menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau memindahkan sesuatu daripadanya.”
Syar’i atau syari’at dari segi bahasa berarti jalan, sedangkan menurut istilah Ahli Ushul Fiqih, hukum ialah :
خِطَابُ اللهِ اْلمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوْ تَخْيِيْرًا اَوْ وَضْعًا
“Khitab (titah) Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik tuntutan )suruhan, larangan( atau takhyir (pilihan mengerjakan atau meninggalkan), atau wadh’i (menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi suatu hukum.)”
Berdasar definisi ini,Ulama Ushul Fiqih membagi hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi (thalaban wa takhyiran) dan wadh’i.
1. Hukum Taklifi
Pengertian hukum taklifi adalah :
مَا اقْتَضَاه خِطَابُ الشَرْعِ المُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ المُكَلِّفِيْنَ مِنْ طَلَبٍ اَوْ تَخيِيْرٍ ( بَيْنَ الفِعْلِ وَالتَّرْكِ عَنْهُ )
“Hukum yang menetapkan tuntutan melakukan sesuatu, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, atau pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu, kepada seorang mukallaf.”
Maka hukum taklifi ada tiga yakni 1) tuntutan melakukan, 2) tuntutan meninggalkan, 3) pilihan: melakukan atau meninggalkan
Contoh hukum taklifi:
1. Tuntutan mengerjakan suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al-Baqarah : 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah/2 : 183)
2. Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan : Berkata tidak sopan kepada orang tua.
…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا ….
…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka… (QS Al-Isra’/17 : 23)
3. Tuntutan memilih: mengerjakan atau meninggalkan perbuatan : Mengqashar shalat ketika bepergian jauh : QS. An-Nisa : 101.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا…
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” (QS An-Nisa’/4 : 101)
Bila dikaitkan dengan tegas atau tidaknya titah Allah, Ulama Ushul Fiqih membedakan tiga macam hukum taklifi diatas menjadi lima (5) macam hukum:
a. Iijab: Kalau titah Allah itu tegas menuntut untuk melakukan. Sedang hukum melakukan perbuatan itu menjadi wajib.
Definisi ijab adalah
الإِيْجَابُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى الفِعْلَ اِقْتِضَاءً جَازِمًا
“Al Ijab ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta melakukan sesuatu sebagai suatu keharusan.”
Konsekuensi hukum wajib adalah pahala bagi yang mengerjakannya dan dosa bagi yang meninggalkannya. Contoh hukum wajib adalah shalat, puasa Ramadhan, membayar zakat, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, berbakti kepada kedua orangtua, dan lain sebagainya. Semua perintah tersebut hukumnya pasti dan tegas.
Seperti firman Allah SWT. :
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً … ﴿٣٦﴾
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS. An-Nisa’/4:36)
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى ﴿١﴾
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,(QS. Al-‘Alaq/87 : 1)
Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam :
1) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu :
a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya waktu sudah ditentukan.
b) Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar sumpah.
2) Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.
a) Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).
Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
3) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan kadarnya.
Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
4) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis perbuatannya.
Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.
Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin.
b. Nadb : Kalau titah Allah itu tidak tegas menuntut untuk melakukan. Sedang hukum melakukan perbuatan itu disebut mandub atau masnunah.
Defisnisi Nadb
النَّدْبُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى الفِعْلَ اِقْتِضَاءً غَيْرُ جَازِمٍ
“An nadbu ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta melakukan sesuatu perbuatan tetapi bukan suatu keharusan.”
Konsekuensi Sunah mendatangkan pahala bagi pelakunya, tetapi tidak mendatangkan dosa dan siksa bagi yang meninggalkannya. Dengan istilah lain sunah terpuji jika dikerjakan dan tidak tercela jika ditinggalkan. Istilah Sunah/sunat dalam istilah Ulama’ ushul fiqih disebut juga mandub, nafilah, tathawwu’, mustahab, dan ihsan.
Umpamanya, firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ…
“Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya.” (QS Al-Baqarah/2 : 282)
Hukum sunah/sunat dibagi menjadi 2 macam :
1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan (sangat penting)
2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang dianjurkan).
c. Tahrim : Kalau titah Allah itu tegas menuntut untuk meninggalkan. Sedang hukum mengerjakan perbuatan itu dinamakan haram. Definisi Tahrim adalah :
التَّحْريْمُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى التَّرْكَ اِقْتِضَاءً جَازِمًا
“Al Tahrim ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta meninggalkan sesuatu perbuatan sebagai suatu keharusan.
Konsekuensi dari hukum haram adalah seseorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan, sementara bagi yang meninggalkan akan mendapat pahala dan kemuliaan.
Umpamanya, firman Allah SWT :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً ﴿٢٣﴾
“Janganlah kamu mencibirkan ibu bapakmu (mengatakan cis kepada ibu bapakmu)” QS Al-Isra’/17 :23
Contoh lainnya :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“katakanlah saku tidak mendapati pada apa yang diwahyukan kepada sesuatu yang haram bagi orang yang memakannya kecuali bila hal itu bangkai, darah mengalir, daging babi, karena hal itu adalah keji/kotor dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (Q.S Al-An’am /6: 145.
d. Karahah : Kalau titah Allah itu tidak tegas menuntut untuk meninggalkan. Sedang hukum mengerjakan perbuatan itu dinamakan makruh. Definisi Karahah adalah :
الكَرَهةُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى التَّرْكَ اِقْتِضَاءً غَيْرُ جَازِمٍ
“Al Karahah ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta meninggalkan sesuatu perbuatan yang bukan sebagai keharusan.”
Misalnya saja pada ayat berikut ini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ…
“Apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS Al-Jumu’ah/62 : 9)
e. Ibahah : titah Allah yang bersifat memberikan pilihan antara melakukan atau meninggalkan, sedangkan perbuatannya dinamakan mubah. Disebut juga dengan halal atau ja’z. Definisi ibahah adalah :
الابَاحَةُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يُخَيِّرُ بَيْنَ الفِعْلِ وَ التَّرْكِ
“Al Ibahah ialah khitab/firman Allah yang membolehkan memilih di antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.”
Mubah tidak berpahala jika dikerjakan dan tidak pula berdosa jika ditinggalkan.
Umpamanya firman Allah :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.” (QS Al-Baqarah/2 : 235)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Ápabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al-Jumu’ah /62: 10)
2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum. Melihat kepada pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahawa hukum wadh’i itu terdiri dari tiga macam, yaitu :
a. Sebab
Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ …
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (QS an-Nur/24 : 2)
Contoh lain, membunuh orang yang tidak berdosa dengan sengaja menjadi sebab berlakunya hukum qishah; adanya perkawinan menjadi sebab berlakunya hukum waris bagi suami atau istri bila salah satunya meninggal dunia; tergelincirnya matahari menjadi sebab adanya kewajiban shalat dzuhur; melihat bulan tanggal 1 Ramadhan menjadi sebab diwajibkannya puasa Ramadhan, dll.
b. Syarat
yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya. Tidak adanya “syarat” mengakibatkan tidak ada hukum. Akan tetapi, dengan adanya “syarat” tidak mesti ada hukum. Contohnya, berwudhu merupakan syarat sahnya shalat. Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ …
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu samai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dua mata kaki.” (QS Al-Maidah/5 : 6)
Tidak ada wudhu berarti tidak ada shalat, akan tetapi adanya wudhu tidak mesti ada shalat, karena seseorang melakukan wudhu itu mungkin untuk keperluan membaca al-Qur’an, hendak belajar, bekerja, dll.
Contoh lain, kemampuan melakukan perjalanan ke Baitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seorang mukallaf.
Antara “sebab” dengan “syarat” memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah tidak ada “sebab” mengakibatkan tidak adanya hukum. Sama halnya apabila tidak ada “syarat”, hukum pun tidak ada. Sementara itu perbedaannya adalah dengan adanya “sebab” harus ada hukum, akan tetapi, dengan adanya “syarat” tidak harus ada hukum.
c. Mani’ (Penghalang)
Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris. Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani’ atau penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan.
Sabda Rasulullah SAW :
لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَ لاَ يَرِثُ الكَافِرُ المُسْلِمَ
“Tidak mewarisi orang Islam atas harta waris orang kafir, dan sebaliknya rang kafir tida mewarisi atas harta orang Islam.” (HR Jama’ah)
Contoh lain, pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap muwarris, menjadi penghalang bagi keduanya untuk saling mewarisi, haid bagi seorang perempuan menjadi penghalang kewajiban sholat, najis pada pakaian menghalangi sahnya shalat, dll.
Selain tiga hal di atas, di kalangan Ulama Ushul Fiqih juga memasukkan shah (shahih), batal, azimah dan rukhsoh dalam hukum wadh’i.
Suatu perbuatan dikatakan shah (shahih) secara hukum apabila telah dilaksanakan sesuai syarat, rukun dan wajibnya. Misalnya , pernikahan dikatakan shah apabila telah memenuhi syarat-syarat rukun-wajib nikah. Amal ibadah yang shah (shahih)lah yang diharapkan ada pahala dari Allah SWT.
Suatu perbuatan dikatakan batal apabila tidak memenuhi ketentuan syara’ baik syarat, rukun dan wajibnya. Misalnya, pernikahan dilaksanakan tanpa menghadirkan calon mempelai laki-laki, maka pernikahan itu disebut batal di sisi hukum.
Azimah adalah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam dan lain sebagainya.
Adapun rukhsoh adalah peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.
Pembagian Rukhsah
Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.
a) Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini dilakukan karena dalam keadaan darurat.al baqarah:173/an nahl:115
Contoh :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”albaqarah: 173
b) Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur yang bersifat dibolehkan secara syar’i.
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”(Q.s al Baqarah/2:184)
c) Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem pesanan).
d) Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di masjid. Sebagaimana firman Allah :
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا الاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al Baqarah/2 : 286)
A. Unsur-Unsur Hukum Islam
1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \ مَحْكُوم فِيْه ِ)
a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi
المَحْكُومُ فِيْهِ : هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ اللهِ
“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’).”
Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
Secara lengkap sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya.
Contoh firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS al-Baqoroh/2 : 183)
Firman Allah SWT di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu berpuasa, status hukumnya adalah wajib.
Contoh lain, firman Allah SWT :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina, sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’/17 : 32)
Firman Allah di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu mendekati zina. Status hukumnya adalah haram.
b. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.
a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.
2. Mahkum ‘Alaih
a. Pengertian Mafkum ‘Alaih ((مَحْكُوْم عَلَيْهِ
Mahkum alaihi adalah orang mukallaf(المحكوم عليه وهوالمكلف) yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, Allah SWT memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi zina, larangan minum-minuman keras, dll.
Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, kemampuan menjadi dasar adanya taklif/tuntutan. Allah SWT berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا …
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS al-Baqarah/2 : 286).
b. Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf).
Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf) adalah :
1) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa nash Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّي يَستَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّي يَحْتَلِمَ وَعَنِ اْلمَجْنُوْنِ حَتَّي يُفِيْقَ.
)روه أبواود النسائ(
2) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut.
3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1) Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah ditetapkannya ini disebut ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). Para ulama ushul fiqih menggolongkan ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). ini menjadi dua kelompok.
(1) Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila, kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.
(2) Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya. Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.
2) Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.
3) Sempurna, apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat (mukallaf).
1. Pengertian Hukum Syar’i secara bahasa adalah :
ِاثْباَ تُ شَيءٍالِىَ شَيءٍ
“Menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau memindahkan sesuatu daripadanya.”
menurut istilah Ahli Ushul Fiqih, hukum ialah :
خِطَابَ اللهِ اْلمُتَعَلِّقُ بِاءَفْعَا لِ الْمُكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوْتَخْيِيْرًااَوْوَضْعًا
“Khitab (titah) Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik tuntutan suruhan, larangan atau menerangkan kebolehan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi suatu hukum.”
2. Hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan wadh’i.
3. Hukum Taklif adalah Hukum yang menetapkan tuntutan terhadap seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu, atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, atau membolehkan memilih antara melakukan atau meninggalkan sesuatu.Sehingga hukum taklifi adalah wajib, sunah, mubah, haram dan makruh
4. Hukum Wadh’I yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum.
5. Selain hal di atas, di kalangan Ulama Ushul Fiqih juga dikenal istilah shah (shahih), batal, azimah dan rukhsoh.
6. Unsur-unsur hukum islam meliputi :
c. Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’).”
d. Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’.
KAMUS ISTILAH
1. Mukallaf : orang yang telah dewasa dan berakal
2. Mandub : Sunah
3. Shahih : shah atau benar
4. Rukhshoh : keringanan
5. Ahkamul khomsah : lima hukum islam (wajib, sunah, boleh ,makruh, haram)
I. Berilah tanda silang (X pada jawaban yang benar diantara huruf a, b, c, d atau e !
1. Khitab Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang mengandung tuntutan baik suruhan atau larangan disebut …..
a. Hukum taklifi
b. Hukum wadh’i
c. Hukum alam
d. Tidak menyulitkan
e. Menyedikitkan beban
2. Ayat dibawah ini yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an menjadi sumber hukum Islam yang utama adalah …..
a. ونتزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين
b. يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
c. وهذا كتاب انزلناه مبارك فاتبعوه واتقوا لعلكم ترحمون
d. اقيموا الصلاة واتوا الزكاة
e وانه لهدى ورحمة للمؤمنين
3. هي ما صدر عن رسول الله ص.م قول او فعل او تقرير
Ta’rif tersebut diatas adalah pengertian dari …..
a. As-Sunah
b. Al-Qur’an
c. Hadits qudsi
d. Qoul sahabat
e. Bid’ah
4. Al-Ijab, An-Nadbu, At-Tahrim, Al-Karahah dan Al-Ibahah disebut ….
a. Hukum alam
b. Hukum Islam
c. Al-Ahkamul Khamsah
d. Al-Ahkamul Sunah
e. Hukum Rasul
5. As-Sunah, dalam pengertian bahasa berarti …..
a. Jalan yang ditempuh
b. Lawan kata bid’ah
c. Jalan yang sudah biasa
d. Sesuatu yang dilakukan sahabat
e. Jawaban a, b, c dan d semua benar
6. Sumber pelengkap dalam hukum Islam adalah …..
a. Hadits qudsi
b. Ijma’
c. Ro’yu
d. Qiyas
e. Urf
7. Untuk meninggalkan sesuatu, atau membolehkan memilih antara melakukan atau meninggalkan sesuatu hukum yang menetapkan hukum/ tuntutan terhadap orang mukallaf untuk melakukan sesuatu atau tuntutan disebut …..
a. Taklifi
b. Mahkum bihi
c. Mani’
d. Wad’i
e. Mahkum ‘alaih
8. Hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang untuk berlakunya sesuatu hukum disebut …..
a. Taklifi
b. Mahkumbihi
c. Mani’
d. Wad’i
e. Mahkum ‘alaih
9. Perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’ disebut …..
a. Taklifi
b. mahkum bihi
c. Mani’
d. Wad’i
e. Mahkum ‘alaih
10. Amal perbuatan orang mukallaf yang menjadi tempat berlakunya hukum Allah adalah …..
a. Taklifi
b. Mahkum bihi
c. Mani’
d. Wad’i
e. Mahkum ‘alaih
II. Jawablah pertanyaan ini dengan jelas
1. Sebutkan macam-macam hukum taklifi !
2. Jelaskan pengertian hukum wad’i dan sebutkan macam-macam hukum wad’i !
3. Tuliskan contoh ayat tentang hukum bihi !
4. Jelaskan syarat-syarat hukum bihi !
5. Tuliskan contoh ayat tentang mahkum ‘alaih !
A. Tugas Individu
Tugas I
Macam-macam Hukum Taklifi Contoh Ayat Maksud/Kandungan Ayat
1. Ijab ……………………………….. ………………………………..
2. ………………………… وَلاَ تَقُلْ لَهُمَا اُفٍّ ………………………………..
3. ………………………… ……………………………….. ………………………………..
4. ………………………… ……………………………….. ………………………………..
5. ………………………… ……………………………….. Boleh beraktifitas kembali setelah shalat jum’at
Tugas II
Tulislah dan hafalkanlah :
1. 5 Ayat Al-Qur’an berisi perintah wajib Allah untuk manusia beriman !
2. 5 Ayat Al-Qur’an berisi larangan Allah untuk manusia beriman !
B. Tugas Kelompok
Tuliskan bagaimana pendapatmu bila :
1. Ada orang muslim yang rajin shalat tetapi sering mendustai bapak/ibunya.
2. Ada orang suka mecuri harta orang lain tetapi gemar berderma/membantu ekonomi saudara dan tetangganya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar