Minggu, 30 Juni 2013

Kaidah Ushul Fiqih


Kaidah Ushul Fiqih


KAIDAH-KAIDAH
USHUL FIQIH










Memahami kaidah-kaidah ushul fiqih


Menjelaskan macam-macam kaidah Ushul Fiqih dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari


TANBIH
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُون
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Q.S al Baqoroh /2:278-279)

IFTITAH
Seorang mujtahid harus memahami nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berbagai bentuk ungkapan hukum di dalamnya harus dikuasainya. Untuk itu ia dituntut untuk menguasai gramatika bahasa Arab dan semestinya memahami maqasid syariahnya (tujuan-tujuan syariah).
Dengan demikian dia dapat menentukan hukum syar’i secara tepat. Bentuk paling banyak terdapat dalam nash adalah perintah dan larangan  ( َاْلاَمْرُوَالنَّهِي )  tetapi dalam konteks kalimat tertentu bentuk itu tidak selalu berarti berlaku hukum halal dan haram. Maka disinilah pentingnya kita memahami materi amar dan Nahi.
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita sulit memahami kata yang bersifat umum / ‘am, tidak terikat / mutlaq, dan global / muradif. Tetapi juga sering menjumpai kata-kata yang sudah jelas maknanya, tegas, dan terbatas. Kata-kata itu dalam ilmu ushul fiqih disebut khash, muqayyad, dan musytarak. Kita perlu mempelajari lebih cermat agar dapat menentukan dengan tepat kata-kata tersebut. Begitu juga kita sering menemui ungkapan-ungkapan yang dapat kita pahami secara tersurat dan tersirat. Yang tersirat inilah yang membutuhkan kecerdasan emosional untuk memahami secara benar. Dalam ilmu ushul fiqih inilah yang disebut mantuq dan mafhum.
Di akhir materi, kita akan belajar tentang nasikh dan mansukh. Untuk lebih memahami semuanya, simaklah dengan sekasama materi berikut ini.

  1. AMAR DAN NAHI  ( َاْلاَمْرُوَالنَّهِي )

1. AMAR        ( َاْلاَمْرُ )

a.       Pengertian Amar       ( َاْلاَمْرُ )

Amar menurut bahasa berarti perintah, sedangkan menurut istilah :
الاَمْرُ طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى
“Amar adalah perkataan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah.”

b.       Bentuk-Bentuk Amar dan Contohnya

Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Fi’il Amar
Contoh :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS Al-Baqarah/2 : 43)
2)      Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amar :
Contoh :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah diantara kamu yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS : Ali Imron /3: 104)
3)      Isim Fi’il Amar
Contoh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu Telah mendapat petunjuk… (Q.S. Maidah /5:105)

4)      Isim Masdar pengganti fi’il
misal kata :    إِحْسَانًا  = berbuat baiklah
Contoh :
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan kepada kedua orang tuamu berbuat baiklah.” (QS Al-Baqarah/2 : 83)
5)      Kalimat Berita (Kalam Khabar) bermakna Insya
Contoh :
يَتَرَبَصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ
“Hendaklah menahan dirinya.” (QS Al-Baqarah/2 : 228)
6)      Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah
أَمَرَ، فَرَض،  كَتَبَ ،وَجَبَ
Contoh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah/2 : 183)

c.       Kaidah-Kaidah Amar dan Maknanya

1)      Kaidah pertama: Pada asasnya perintah menunjukkan wajib
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Pada dasarnya perintah itu menunjukkan wajib.”
إلاَّ ما دَلَّ دَلِيْلٌ على خِلاَفِهِ
Kecuali jika ada qarinah yang dapat mengalihkan lafadz Amar itu dari arti wajib kepada arti yang lain, maka hendaklah dialihkan kepada arti lain sesuai yang dikehendaki oleh qarinah tersebut, antara lain sebagai berikut :
a)      Nadb  اَلنَّدَب artinya sunah atau anjuran
Contoh :
وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
“Maka hendaklah kamu buat perjanjian mukatabah dengan mereka bila kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS an-Nur/24 : 33)
b)      Irsyad اَلاِْرْشَادُ  artinya membimbing atau memberi petunjuk
Contoh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ…
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang sampai masa yang ditetapkan, hendaklah kamu menulisnya.” (QS-Al-Baqarah/2 : 282)
c)      Do’a (الدعاء) artinya permohonan
Contoh :
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Wahai Tuhan kami, Berilah kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat.” (QS Al-Baqarah/2 : 201)
d)      Ibahah (الاباحة) artinya membolehkan
Contoh :
… وَكُلُوا وَاشْرَبُوا…
“Makan dan minumlah kamu …” (QS Al-Baqarah/2 : 187)
e)      Tahdid (التهديد) artinya mengecam
Contoh :
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Kerjakanlah sekehendakmu” (QS. Fushilat/41 : 40)
f)       Ta’jiz (التعجيز) artinya melemahkan
Contoh :
 …فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ …
“Buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan al-Qur’an itu.” (QS Al-Baqarah/2 : 23)
g)      Ikram (الاكرام ) artinya menghormat
Contoh :
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
“Masuklah ke dalamnya (syurga) dengan sejahtera dan aman” (QS AL-Hijr /15: 46)

h)      Tafwidl ( التفويض ) artinya menyerah
Contoh :
ÇÙø%$$sù !$tB |MRr& CÚ$s%
“Putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.” (QS Thaha/20 : 72 )
i)        Talhif ( التلهيف) artinya menyesal
Contoh :
(#qè?qãB öNä3ÏàøŠtóÎ/ 3
“Katakanlah (kepada mereka)! Matilah kamu karena kemarahanmu itu” (QS Ali Imran/3 : 119)
j)        Takhyir (التخيير) artinya memilih
Contoh :
مَنْ شَاءَ فَلْيَبْخَلْ وَ مَنْ شَاءَ فَليَجِدْ كَفَانِى نَذَاكُمْ عَنْ جَمِيْعِ الخِطَابِ
“Barang siapa kikir, kikirlah, siapa mau bermurah hati, perbuatlah. Pemberian Tuhan mencukupi kebutuhan saya.” (Syair Bukhaturi kepada raja)
k)      Taswiyah (التسوية) artinya persamaan
Contoh :
اُدْخُلُوْهَا فَاصْبِرُوا اَوْ لاَ تَصْبِرُوا
“Masuklah ke dalamnya (neraka) maka boleh kamu sabar dan boleh kamu tidak sabar, itu sama saja bagimu.” (QS Thaha/20 : 16)

2)      Kaidah Kedua : Perulangan dalam Suruhan
a)      Pada prinsipnya Amar (perintah) tidak menghendaki berulang-ulang
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى التِكْرَار
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki berulang-ulangnya pekerjaan yang dituntut.”
Misalnya :
(#q‘JÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬!
“Dan sempurnakanlah ibadah Haji dan Umrah karena Allah.” (QS Al-Baqarah/2 : 196)
Perintah haji dan Umrah tidak wajib dikerjakan berulang kali, tetapi cukup sekali saja, karena suruhan itu hanya menuntut kita untuk melaksanakannya.
b)      Amar (perintah) itu menghendaki berulang-ulang
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ يَقْتَضِى التِكْرَار مُدَّةَ العُمْرِ مَعَ الاِمْكَانِ
 “Pada dasarnya perintah itu menghendaki berulang-ulangnya perbuatan yang diminta selagi masih ada kesanggupan selama hidup.”
Misalnya :
 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4
 “Jika kamu berjunub maka mandilah.” (QS Al-Maidah/5 : 6)
ٲOÏ%r no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$#
Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir” (QS Al-Isra’ /17: 78)

3)      Kaidah Ketiga
الاَمْرُ بِالشَّيْئِ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya / perantara.”
Misalnya, perintah mendirikan shalat berarti perintah untuk berwudhu, karena wudhu merupakan salah satu syarat sahnya shalat.

4)      Kaidah Keempat
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى الفَوْرَ
“Pada dasarnya perintah (Amar) itu tidak menuntut dilaksanakan segera.”
Misalnya :
`yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4’n?tã 9xÿy™ ×o£‰Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé&
“Barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah mengqadha puasa itu pada hari yang lain.” (QS Al-Baqarah/2 : 184)
Puasa Ramadhan yang ditinggalkan itu boleh ditunda mengerjakannya, asal tidak melalaikan pekerjaan itu dan sebelum masuk Ramadhan berikutnya.
5)      Kaidah Kelima
الاَمْرُ بَعْدَ النَّهْيِ يُعِيْدُ الابَاحَةِ
“Perintah sesudah larangan menunjukkan kebolehan.”

Misalnya :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَاررَةِ القُبُوْرِ اَلاَ فَزُوْرُهَا
Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, sekarang berziarahlah.” (HR Muslim)
#sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù
Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, berburulah.” (QS Al-Maidah/5 : 2)
Berdasarkan dua uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa perintah setelah larangan itu hukumnya mubah tidak wajib, seperti berziarah kubur dan berburu setelah ibadah haji.

2. NAHI ( النَّهِي )

a.       Pengertian Nahi (larangan)

Bahasa: mencegah atau melarang.
Istilah :
النَهْيُ هُوَ طَلَبُ التَّرْكِ مِنَ الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى
“Larangan ialah tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah tingkatannya.”

b.       Bentuk-Bentuk Nahi dan Contohnya

1)      Fi’il Mudhari yang didahului dengan “la nahiyah” / lam nahi = janganlah
Ÿwur(#þqè=ä.ùs? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
“Dan jangan engkau memakan harta saudaramu dengan cara batil.” (QS Al-Baqarah/2 : 188)
Ÿw(#rßÅ¡øÿè? ’Îû ÇÚö‘F{$#
“Janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS Al-Baqarah/2 : 11)
2)      Lafadz-lafadz lain yang memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan perbuatan / suatu larangan.
Misalnya :
حَرَّمَ، اِحْذَرْ، اُتْرُكْ، نَهَى، دَعْ، ذَرْ
ôMtBÌhãm öNà6ø‹n=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur
“Diharamkan bagi kamu ibu-ibumu dan anak-anak perempuanmu.” (Qs An-Nisa’ /4: 23)
4‘sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur
Ðan dilarang dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS An-Nahl/16 :90)

c.       Kaidah-Kaidah Nahi dan Maknanya

1)      Kaidah Pertama
الاَصْلُ فِى النَهْيِ لِلتَحْرِيْمِ
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram.”
Misalnya :
Ÿwur (#qç/tø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y™
“Dan janganlah kau mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan sejelek-jeleknya jalan.” (QS Al-Isra’/4 : 32)
Kecuali ada petunjuk lain yang memalingkan dari arti haram ke arti lain,misalnya:
a)      Karahah   الكراهة
Misalnya :
وَ لاَ تَصُلُّوا فِى اَعْطَانِ الاِبِلِ
“Janganlah mengerjakan shalat di tempat peristirahatan unta.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi)

Larangan dalam hadits ini tidak menunjukkan haram, tetapi hanya makruh saja, karena tempatnya kurang bersih dan dapat menyebabkan shalat kurang khusyu’ sebab terganggu oleh unta.
b)      Do’aالدعاء
Misalnya :
$oY­/u‘ Ÿw ùøÌ“è? $oYt/qè=è% y‰÷èt/ øŒÎ) $oYoK÷ƒy‰yd
“Ya Tuhan Kami, Janganlah Engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami.” QS Ali Imran /3: 8)
c)      Irsyad  الارشاد  artinya bimbingan atau petunjuk
Misalnya :
$pkš‰r’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$u‹ô©r& bÎ) y‰ö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan memberatkan kamu.” (Qs Al-Maidah/5 : 101)
Larangan di atas hanya merupakan pelajaran, agar jangan menanyakan sesuatu yang akan memberatkan diri kita sendiri.
d)      Tahqir  التحقير meremehkan atau menghina
Misalnya :
Ÿw ¨b£‰ßJs? y7ø‹t^ø‹tã 4’n<Î) $tB $uZ÷è­GtB ÿ¾ÏmÎ/ $[_ºurø—r& óOßg÷YÏiB
“Dan janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir)” (QS Al-Hijr/15 : 88)

e)      Tay’is التيئس artinya putus asa
Misalnya :
لاَ تَعْتَذِرُ اليَوْمَ
“Dan janganlah engkau membela diri pada hari ini (hari kiamat)” (QS At-Tahrim /66: 7)

f)       Tahdid  ( التّهديد )artinya ancaman
Misalnya :
لاَ تُطِعْ اَمْرِى
“Tak usah engkau turuti perintah kami”
g)      I’tinas  ( الإئتاس )artinya menghibur
Misalnya :
Ÿw ÷bt“øtrB žcÎ) ©!$# $oYyètB (
“Janganlah engkau bersedih, karena sesungguhnya Allah SWTbersama kita.” (QS At-Taubah/9 : 40)

2)      Kaidah Kedua
الاَصْلُ فِى النَهْيِ المُطْلَقْ يَقْتَضِى التِكْرَارَى فِى جَمِيْعِ الاَزْمِنَةِ
“Pada dasarnya larangan mutlaq itu menghendaki pengulangan dalam segala zaman.”

Apabila larangan itu tidak dikaitkan dengan batasan waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti disuruh untuk meninggalkan selamanya, tetapi jika larangan itu terkait dengan waktu, maka larangan itu berlaku bila ada sebab saja.
Misalnya :
Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3“t»s3ß™
“Janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.” (QS an-Nisa’ /4: 43)

3)      Kaidah Ketiga
النَهْيُ عَنْ شَيْئٍ اَمْرٌ بِضِدِهِ
“Melarang dari sesuatu itu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.”
Misalnya :
Ÿwur Ä·ôJs? ’Îû ÇÚö‘F{$# $·mttB
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan berlagak sombong.” (QS Luqman/31 : 18)
Larangan tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa kita diperintahkan untuk berjalan dengan sikap sopan.

4)      Kaidah Keempat
النَهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ المُنْهِىِّ عَنْهُ
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan perbuatan yang dilarang (baik ibadah maupun mu’amalah).”
Misalnya :
Larangan shalat dan puasa bagi wanita yang haid dan nifas. Jual beli binatang yang masih dalam kandungan. Hal ini tidak sah dan dilarang oleh syara’.


  1. ‘AM DAN KHAS  ( العَامُ وَ الخَاصً)

1.       ‘AM  ( العَامُ)

a.       Pengertian ‘Am

Al ‘Am (العَامُ ) secara bahasa berarti umum, merata, menyeluruh, sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih :
Misalnya, lafadz al insan ( الانسان ) artinya seluruh manusia.

b.       Lafadz-Lafadz ‘am dan contohnya

Lafadz-lafadz yang digunakan untuk memberi faedah ‘am antara lain :
1)      Lafadz kullun dan jami’un, kaffah, ma’syar (seluruhnya)
Contoh :
كُلُّ رَاعٍ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap pemimpin (pemelihara) akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (pemeliharaanya)” (HR Bukhari-Muslim)
uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_
“Dialah yang menjadikan segala apa yang ada di bumi untuk kamu” (QS Al-Baqarah/2 : 29)

2)      Isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam jinsiyyah.
¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
“Dan Allah SWTmenghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah/2 : 275)
Lafadz al bai’a (jual beli) dan ar riba (riba) keduanya disebut lafadz ‘am, karena isim mufrad yang dita’rifkan dengan “al jinsiyyah”.
bÎ)ur (#r‘‰ãès? |MyJ÷èÏR «!$# Ÿw !$ydqÝÁøtéB 3
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (QS Ibrahim/14 : 34)
!$tBur y7»oYù=y™ö‘r& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉ‹tRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ
3)      Lafadz jama’ yang dita’rifkan dengan alif lam.
Contoh :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' “
4)      Lafadz mufrad dan jam’ yang dita’rifkan dengan idhafah
Contoh dengan idhafah :
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr&
“Allah SWTmensyari’atkan bagimu (pembagian warisan untuk) anak-anakmu.” (QS An-Nisa’/4 : 11)
Lafadz aulad adalah lafadz jama’ yang diidhafahkan dengan lafadz kum sehingga menjadi ma’rifat. Oleh karena itu lafadz tersebut dikategorikan lafadz ‘am.
5)      Isim-isim mausul seperti al ladzi, al ladzina, al lati, al la’i  .
( الذي، الذين، التي، اللأ تي، الللأ ئي، اولائ )
Misalnya :
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâ‘x‹tƒur %[`ºurø—r& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ö‘r& 9åkô­r& #ZŽô³tãur
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri itu) menangguhkan diri (iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS Al-Baqarah/2 : 234)
6)      Isim-isim syarat, seperti man (barang siapa), maa ( apa saja), ayyumaa (yang mana saja).
 ( من، ما، اي، ايما )
a)مَنْ= barang siapa
 
`tB ö@yJ÷ètƒ #[äþqß™ t“øgä† ¾ÏmÎ/ Ÿwur ô‰Ågs† ¼çms9 `ÏB Èbrߊ «!$# $wŠÏ9ur Ÿwur #ZŽÅÁtR
"Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS An-Nisa/4 : 123)
b)مَا = apa saja
 
 $tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9Žöyz öNà6Å¡àÿRL|sù 4
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri.”
(QS Al-Baqarah/2 : 272)
c)اَيُّ = siapa saja
 
 $wƒr& $¨B (#qããô‰s? ã&s#sù âä!$yJó™F{$# 4Óo_ó¡çtø:$#
"Serulah Allah SWTatau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).”
(QS Al-Isra’ /17: 110)
Contoh :

اَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَمَ عَلَيْهَا رِيْحَةُ الجَنَّةِ
“Siapa saja perempuan yang meminta ditalaq kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya harum-haruman syurga.” (HR Ahmad)
7)      Isim Nakirah yang terletak sesudah nafi’.
Misalnya :
مَا رَأَيْتُ رَجُلاً
“Aku tidak melihat seorangpun.”

(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ žw “Ì“øgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«ø‹x©
“Jagalah dirimu dari (adzab) hari (kiamat), yang pada hari itu, seorangpun tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.” (QS Al-Baqarah/2 : 48)
Kalimat “nafsun” = seorangpun, yang jatuh sesudah nafi’ (laa = tidak) yakni tidak tertentu, dan ditunjukkan kepada semua jenis manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

8)      Isim Istifham, ialah man (siapa), ma (apa), aina, ayyun (di mana) dan mata (kapan). Misalnya :
a).    من= siapa
`¨B #sŒ “Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym
“Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah SWTdengan piutang yang baik?” (QS Al-Baqarah/2 : 245)
b). مَا = apa
$tB óOä3x6n=y™ ’Îû ts)y™
“Apa sebab kamu masuk neraka?” (QS Al-Mudatsir/74 : 42)
c).  اَيُ= yang mana
öNä3•ƒr& ÓÍ_‹Ï?ù'tƒ $pkÅ­öyèÎ/ Ÿ@ö6s% br& ’ÎTqè?ù'tƒ šúüÏJÎ=ó¡ãB
“Siapakah diantara kamu yang bisa membawa kursi tahta kerajaan (Bulqis) di hadapanku sebelum mereka datang menyerahkan diri kepadaku?” (QS An-Naml/16 : 38)
d).  مَتَّي    = Kapan

مَتَى نَصْرُ اللهِ اَلاَ اِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيْبٌ
“Kapan datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah SWTitu sangat dekat.” (QS Al-Baqarah/2 : 215)
e).   اَيْنَ=Diman
اَيْنَ مَسْكَنُكَ
“Di manakah tempat tinggalmu?”

c.       Kaidah ‘Am

عُمُوْمُ العَّامِ سُمُوْلِيٌّ وَ عُمُوْمُ المُطْلَقِ بَدَلِيٌّ
Artinya : “Keumuman ‘am itu bersifat menyeluruh  sedangkan keumuman mutlaq itu bersifat mengganti / mewakili.”
Ulama ushul fiqih membedakan antara lafadz ‘am dan lafadz mutlaq. Lafadz ‘am dapat mencakup semua satuan sekaligus, sedangkan mutlaq hanya dapat diterapkan kepada salah satu dari beberapa, yaitu sesuatu yang menonjol diantara satuan itu.

2.       KHASH  (الخَاصً)

a.       Pengertian Khash

Dari segi bahasa khash berarti tertentu atau khusus. Sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih :
الخَصُّ هُوَ اللَفْظُ الذِى يَدُلُّ عَلَى مَعْنًا وَاحِدًا
Artinya : “Lafadz yang menunjukkan satu makna tertentu.”
Makna satu tertentu itu bisa menunjukkan perorangan, seperti Ibrahim, atau menunjukkan satu jenis, seperti Laki-laki atau menunjukkan bilangan, seperti dua belas, lima belas, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dll.

b.       Pembagian takhsis

Dalil yang mengecualikan dalil ‘am  (takhsisi) ada dua macam : 1) Takhsis  muttasil (bersambung), 2) takhsis munfasil (terputus /terpisah)

1)   Takhsis muttasil (bersambung)

adalah dalil pengecualian yang tidak berdiri sendiri, antara mukhasshish dan yang di takhsis disebut secara beriringan dalam satu nash/teks. Yang dapat dibedakan  menjadi  :
(1) Takhsis dengan istisna الاستثناء atau kecuali seperti firman                Allah SWT :
ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ   ¨bÎ) z`»|¡SM}$# ’Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ
“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian
(2) Takhshis dengan syarat               seperti firman Allah SWT :

£`åkçJs9qãèç/ur ‘,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ ’Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#u‘r& $[s»n=ô¹Î)
Artinya :
“ Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu jika para suami menghendaki perdamaian“
Kalimat jika mereka (para suami) menghendaki ishlah adalah syarat. Jadi, apabila rujuk itu tanpa maksud ingin hidup dengan damai dalam rumah tangga tidak diperbolehkan.
(3) Takhshis ghayah      atau ‘hingga batas’, baik waktu maupun tempat, ghayah itu ada dua macam, yaitu hatta (sehingga) dan ilaa (sampai).
a. Ghayah dengan hatta yang menunjuk batas waktu
 Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ
Artinya : “ Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci “. (QS Al-Baqarah /2:222)
b. Ghayah dengan ilaa yang menunjuk batas tempat
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$#
                        Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku “ (QS. Al-Maidah/5 :6)

2)   Takhsis Munfasil (terputus/terpisah) :

adalah mukhashis dan yang di takhsis  terpisah, tidak dalam satu kalimat.

Bentuk-bentuknya sebagai berikut :
a. Al hiss (indera)
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ (٢٣)
23. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. An naml: 23
Indera manusia tidak mungkin diberi yang namanya segala sesuatu, pastilah segala sesuatu ini sesuatu yang terbatas.
b. akal
...هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (١٠٢)
...dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. Al an’am: 102
Secara akal segala sesuatu di sini kecuali dzat Allah sendiri
c. Nash

1. Ayat Al-Qur’an ditakhsis dengan ayat Al-Qur’an  seperti firman       Allah SWT :
      àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
        Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' “ (QS. Al-Baqarah/2 ; 228)
Ayat ini memberikan pengertian umum, meliputi wanita-wanita yang dicerai kemudian dikecualikan (ditakhsis) bagi wanita-wanita yang sedang hamil dengan firman Allah SWT :
 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq
Artinya :
“ Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya “.  (QS Ath-Thalaq/65:4)
Ayat ‘am diatas disamping ditakhis dengan surah Ath-Thalaq :4, juga ditakhsis  dengan surah Al-Baqarah : 234 tentang wanita-wanita yang ditinggal mati suaminya dan ditakhsis dengan surah Al-Ahzab :49 tentang wanita  yang dicerai  suaminya yang belum mengadakan hubungan kelamin.
2. Ayat Al-Qur’an yang ditakhsis dengan hadits
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üu‹sVRW{$#
“ Allah mensyariatkan bagimu (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu  bagian anak laki-laki denga dua bagian anak perempuan ” (QS. An-Nisa’ /4: 11)

Ayat diatas memberi pengertian umm, baik anak msuslim maupun yang bukan muslim. Ayat ini kemudian ditkhsis dengan hadits Nabi SAW :
(اَلْمُخَصَّصُ) لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ اْلكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرَ الْمُسْلِمُ (رواه البخري ومسلم )
Artinya :
“Orang Islam tidak menerima waris dari orang kafir dan orang kafir tidak menerima waris dengan orang Islam “ (HR. Bukhari Muslim)
3. Ayat al qur’an ditakhsih dengan ijma
Laki-laki yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina dan tidak bisa mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka 80 kali ( annur: 4)
Ijma mentakhsis budak laki – laki penuduh di dera 40 kali separo laki-laki merdeka
4. Ayat al qur’an ditakhsis dengan qiyas
Pezina wanita dan pezina laki-laki, deralah setiap salah satu dari keduanya 100 kali. Annur: 2
Qiyas mentakhsih bahwa budak laki-;ali atau budak perempuan deranya 50 kali.
5. Hadits ditakhsis dengan Al-Qur’an
(العل) لاَيَقْبَلُ اللهَ صَلاَةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتيَّ يَتَوَضَّاءَ (رواه البخاري ومسلم )
Artinya :
“ Allah tidak menerima shalat seseorang diantara kamu yang berhadas, sehingga dia berwudhu “ ( HR. Bukhori dan Muslim )
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4’n?tã @xÿy™ ÷rr& uä!$y_ Ó‰tnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#r߉ÅgrB [ä!$tB (#qßJ£Ju‹tFsù #Y‰‹Ïè|¹
Artinya :
Dan jika kamu  sakit atau dalam perjalan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak menemukan air maka tayamumlah dengan tanah yang  suci “ ( QS. An-Nisa’/4 : 43)
6. hadits ditakhsis dengan hadits
“ pertanian yang diairi hujan zakatnya sepersepuluh” ditkahsish dengan hadits “ yang kurang dari 5 wasaq tidak terkena zakat”
7. hadits ditkashsis dengan ijma
8. hadits di takhsis dengan qiyas.
Bujang yang melakukan zina dicambuk 100 kali dan diasingkan, qiyas mentakhsish bagi budak hukumannya separo, demikian menurut jumhhur.
  1. MUTLAQ DAN MUQAYYAD

1.      Pengertian Mutlaq dan Muqayyad  ( المطلق والمقيد)

Mutlaq menurut bahasa berarti lepas tidak terikat, adapun menurut istilah berarti suatu lafadz tertentu yang tidak terikat yang dapat mempersempit keluasan artinya. Contoh mutlaq
㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ `ÏiB È@ö6s% br& $¢™!$yJtFtƒ
“Maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.” (QS Al-Mujadalah/58 : 3)
Lafadz budak dalam ayat tersebut adalah lafadz mutlaq, karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu. Sehingga lafadz raqabatin itu mencakup keseluruhan budak, baik yang mukmin maupun yang kafir.
Muqayyad menurut bahasa berarti terikat. Menurut istilah adalah suatu lafadz tertentu yang terikat oleh lafadz lain yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Contoh Muqayyad
 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡•B
“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS An-Nisa/4 : 92)

Pada ayat ini teradapat lafadz muqayyad yaitu :   رَقَبَةٍ    مُؤْمِنَهُ  sehingga kalau seseorang membunuh orang mukmin karena tersalah maka wajib memerdekakan budak yang mukmin sebagai kifaratnya. Kalau budaknya bukan orang mukmin maka kifarat itu tidak sah.

2.      Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad

Apabila dalam nash Al-Qur’an atau As-Sunnah disebutkan dengan lafadz mutlaq, sedangkan di tempat lain disebutkan dengan bentuk muqayyad, maka menurut Ulama’’ ada empat alternatif pemecahannya :
1)      المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّدِ اِذا اتَّفَقَا  ِفي السَّبَبِ وَ اْلحُكُمِ
Artinya :
“Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama. Jika antara mutlaq dan muqayyad sama dalam materi dan hukunya, maka hukum mutlaq disandarkan kepada muqayyad “
Berarti kalau keduanya mempunyai persamaan dalam sebab dan hukum, maka harus berpegang pada muqayyad.
Contoh :
ôMtBÌhãm ãNä3ø‹n=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌ“Yσø:$#
“Diharamkan atas kamu bangkai, darah, dan daging babi.” (QS. Al-Maidah /5: 3)

Lafadz (darah) disebut dengan lafadz (mutlaq), sementara pada ayat yang lain disebutkan dengan lafadz muqayyad yaitu :    (darah yang mengalir) sebagaimana firman Allah SWTsebagai berikut.
@è% Hw ߉É`r& ’Îû !$tB zÓÇrré& ¥’n<Î) $·B§ptèC 4’n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ”\Åz
“Katakanlah, tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkannya bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau  makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.” (Qs Al-An’am/6 : 145)
Dengan melihat ketentuan di atas, maka yang mutlaq diikutkan pada yang muqayyad, karena mempunyai sebab yang sama yaitu keadaannya sama-sama darah dan juga hukumnya sama yaitu haram. Sehingga yang dijadikan pegangan hukum adalah surah Al-An’am 145 karena lafadznya yang muqayyad (darah yang mengalir). Dijadikan pegangan hukum adalah surah Al-An’am 145 karena lafadznya muqayyad (darah yang mengalir)
2)      المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّداِنِ احْتَلَفَا ِفي السَّبَبِ
Artinya :
“ Mutlaq itu dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda “
Apabila terdapat nash yang demikian, yang mutlaq tidak boleh diikutkan pada yang muqayyad, sementera Ulama’’ Syafi’iyah berpendapat sebaliknya yang mutlaq diikutkan pada yang muqayyad.
Contoh :
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ `ÏiB È@ö6s% br& $¢™!$yJtFtƒ 4
“Orang-orang yang mendzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atas mereka memerdekakan seorang budak sebelum suami istri itu bercampur.” (QS Al-Mujadalah/58 : 3)
Ayat lain menjelaskan sebagai berikut :
`tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡•B #’n<Î) Ï&Î#÷dr&
“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) memerdekakan budak yang mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS An-Nisa’/4 : 92)
Masalah yang ada dalam dua ayat ini berbeda yaitu tentang dzihar dan pembunuhan tersalah. Kifarat terhadap keduanya sama yaitu memerdekakan hamba sahaya. Oleh karena itu, yang dijadikan pegangan adalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, baik terhadap dzihar maupun pembunuhan tersalah.
3)      المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّداِذَاحْتَلَفَا ِفي َاْلحُكُمِ
Artinya :
“ Mutlaq itu tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya “
Sama sebabnya tetapi hukumnya berbeda, Ulama’ Hanafiyah dan Syafi’iyah berpegang pada yang muqayyad, sedangkan Ulama’ Malikiyah dan Hanabillah berpegang pada masing-masing yaitu yang mutlaq tetap mutlaq dan muqayyad tetap muqayyad.
Contoh :
(#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$#
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku.” (QS Al-Maidah /5: 6)

Ayat yang lain dinyatakan
(#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ‰÷ƒr&ur çm÷YÏiB
“Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS Al-Maidah/5 : 6)

Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah berpegang pada muqayyad, baik wudhu maupun tayamum harus sampai siku. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah berpendapat untuk wudhu sampai siku (muqayyad) dan untuk tayamum sampai pergelangan tangan (mutlaq).

4)      المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّد اِذِ اخْتَلَفَا ِفي السَّبَبِ
Artinya :
“ Mutlaq tidak dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya berbeda 
Jika sebab dan hukumnya berbeda, maka mayoritas Ulama’ berpendapat bahwa mutlaq tidak boleh diikutkan dengan muqayyad. Artinya yang mutlaq tetap dan yang muqayyad sesuai dengan muqayyadnya.

Contoh :
ä-Í‘$¡¡9$#ur èps%Í‘$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ‰÷ƒr&
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah kedua tangannya.” (QS Al-Maidah/5 : 38)
Ayat yang lain :
(#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$#
“Maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai ke siku.” (QS Al-Maidah/5 : 6)
Karena sebab dan hukumnya berbeda, maka hendaklah dijalankan sesuai dengan hukum masing-masing.

3.      Kaidah yang berhubungan dengan Mutlaq dan Muqayyad

المُطْلَقُ يَبْقَى عَلَى اِطْلاَقِهِ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى تَقْيِيْدِهِ
 Artinya : “Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya.”
المُقَيَّدُ بَاقٍ عَلَى تَقْيِيْدِهِ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى اِطْلاَقِهِ
Artinya : “Hukum muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.”
  1. MANTUQ DAN MAFHUM (المنطوق والمفهوم )

1.      Pengertian Mantuq dan Mafhum

Mantuq secara bahasa berarti yang diucapkan, secara istilah ialah suatu makna yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri (menurut ucapannya). Mantuq bermakna tekstual / yang tersirat. Apabila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan bunyi dari dalil (ucapan dalil) maka yang demikian itu dinamakan mantuq.
Contoh :
¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
“Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Maidah/5 : 275)
Hukum jual beli itu halal dan riba itu haram. Langsung ditunjukkan secara jelas oleh lafadz ayat tersebut.

Mafhum menurut bahasa artinya dipahami, sedangkan menurut istilah suatu makna yang tidak ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri, tetapi menurut pemahaman terhadap ucapan lafadz tersebut. Mafhum bermakna kontekstual (yang tersirat) apabila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan pemahaman terhadap suatu ucapan maka dinamakan mafhum.
Contoh
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&
“Janganlah engkau katakan kepada keduanya (ibu bapakmu) perkataan “cih”.” (QS Al-Isra’/17 : 23)

Secara mantuq ayat ini mengharamkan mengucapkan kata “cih” kepada kedua orang tua. Namun bagaimana kalau memukul orang tua ? kita dapat memahami dari ayat tersebut, bahwa mengucapkan kata “cih” saja yang begitu ringan diharamkan apalagi kalau sampai memukulnya, tentu lebih berat. Tetapi hukum haram memukul orangtua tidak ditunjukkan oleh lafadz ayat, melainkan ditunjukkan oleh pemahaman terhadap ayat tersebut.

2.      Macam-Macam Mafhum

Mafhum dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1)   Mafhum muwafaqah, yaitu menetapkan hukum dari makna yang sejalan atau sepadan dengan makna yang tersurat (mantuq) berarti sesuatu yang tidak diucapkan itu sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Misalnya, khamr itu diharamkan karena memabukkan. Maka semua zat yang memabukkan itu hukumnuya haram, mengucapkan kata “Cih” kepada kedua orangtua adalah haram, menurut mafhumnya memukul kedua orangtua juga haram, karena keduanya mempunyai illat yang sama, yaitu sama-sama memabukkan.
Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi 2 macam
a)      Fahwal Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti larangan memukul ibu bapak itu haram hukumnya, sebab mengucapkan kata “cih” saja (lebih ringan dari memukul) juga diharamkan, apalagi memukul kedua orangtua.
b)      Lahnal khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) itu sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu hukumnya haram, sebab memakannya juga dihukumi haram. Keduanya mempunyai illat yang sama yaitu sama-sama  merusak harta anak yatim .
2)      Mafhum Mukhalafah, yaitu menetapkan hukum kebaikan dari hukum mantuqnya yang tidak diucapkan itu bertentangan/kebalikan dengan apa yang diucapkan baik dalam menetapkan hukum maupun  meniadakannya. Mafhum mukhalafah terdiri dari enam, macam :
c)      Mafhum sifat, yaitu menetapkan hukum tentang sesuatu berlawanan dengan sifat yang ditetapkan.
Misalnya :
㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B
“…Hendaklah memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (QS An-Nisa/4 : 92)
Membayar kifarat pembunuhan tersalah dengan memerdekakan budak yang mukmin, maka kalau dengan hamba sahaya yang tidak mukmin (kafir) hukumnya tidak sah.
d)      Mafhum syarat, yaitu menetapkan hukum atas suatu perkara dikaitkan  dengan syarat. Misalnya, suami boleh memakai sebagian dari mas kawin istrinya dengan penyerahan senang hati, mafhumnya adalah apabila istri tidak menyerahkan dengan senang hati, hukumnya haram.
e)      Mafhum ‘adad (bilangan), yaitu menetapkan hukum suatu perkara dikaitkan dengan bilangan tertentu. Misalnya, orang yang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka terkena hukuman berupa didera delapan puluh kali. Mafhumnya adalah apabila dapat menghadirkan empat orang saksi, maka tidak dihukum dera.
f)       Mafhum Ghayah (batas), yaitu menetapkan suatu hukum dengan batasan tertentu dan berlaku sebaliknya bila batasan tersebut dilampaui. Misalnya, makan dan minum pada bulan Ramadhan dibatasi sampai terbitnya fajar. Mafhumnya adalah kalau melebihi waktu fajar maka makan dan minum itu dilarang.
g)      Mafhum Hashr (pembatas/penyingkat) yaitu menetapkan suatu hukum disertai pembatasan tidak melampaui sesuatu di luar batas tersebut. Misalnya, tuan yang telah membebaskan budaknya berhak mewarisi harta peninggalan budak tersebut. Mafhumnya selain tuan yang telah membebaskannya, tidak ada yang berhak mendapatkan warisan dari budak yang telah dimerdekakan itu.
h)      Mafhum Laqab, yaitu menetapkan hukum dikaitkan  dengan  isim alam, nama jenis dan sebagainya. Selain yang disebutkan berlaku sebaliknya. Misalnya, menukar emas dengan emas, perak dengan  perak, gandum dengan gandum, beras dengan beras, kurma dengan kurma, garam dengan garam, yang serupa (sifatnya) dan sama (jumlahnya) suka sama suka, dengan berat jumlah sama maka bukan riba
Apabila penukaran barang yang sejenis itu tidak berarti diperbolehkan sama jumlahnya, maka hukumnya riba, mafhumnya adalah selain yang enam jenis tersebut di atas hukumnya bukan riba.

3.      Berhujjah dengan Mafhum

Menjadikan mafhum sebagai dasar hukum pada dasarnya dibedakan sebagai berikut :
i)        Para Ulama’ sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum muwafaqah.
j)        Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum laqab.
k)      Ulama’ Hanafiyah, ibnu Hazm, dan golongan Zahiriyah berpendapat bahwa semua mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah/alasan.

4.      Kaidah terkait dengan Mantuq dan Mafhum

مَفْهُوْمُ المُوَافَقَةِ حُجَّةٌ
Artinya : “Mafhum muwafaqah (makna tersirat yang sesuai) dapat dijadikan hukum.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa hasil dari mafhum muwafaqah yang tidak bertentangan dengan hukum syariat dapat dijadikan pegangan hukum. Contohnya, keharaman berkata “ah” kepada kedua orang tua. Maka menghardik, menghina, bahkan memukulnya juga diharamkan.

  1. MUJMAL DAN MUBAYYAN ( المجمل والمبيّن )

1.      Pengertian Mujmal dan Mubayyan

Mujmal ialah lafadz yang untuk memahami maksudnya tergantung pada lafadz lainnya baik mengenai ketentuannya, atau sifat/tatacara atau ukurannya. Abdul Wahab Khallaf  mendefinisikan mujmal sebagai “lafadz” yang pengertiannya tidak dapat dipahami dari lafadz itu sendiri apabila tidak ada qorinah/tanda-tanda yang menjelaskannya.
Contoh :
- Mujmal yang maksudnya harus ditentukan salah satu maknanya terlebih dahulu. Yakni kata quru’ karena memiliki dua arti yakni suci dan haid. Untuk menentukan maknanya memerlukan ayat atau hadits yang menjelaskan arti ini.
 ‏{‏وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ‏}‏ ‏[‏البقرة‏:‏ من الآية228‏]‏‏
- Contoh mujmal yang membutuhkan penjelasan tatacara, اقيموالصلواة… cara melaksanakannya membutuhkan penjelasan dari ayat atau hadits lainnya.
- Contoh mujmal yang membutuhkan penjelasan ukurannya
 {‏وَآتوا الزكاة ‏}‏ ‏[‏البقرة‏:‏ من الآية43‏]‏
Mubayyan ialah lafadz yang jelas makna dan  maksudnya sejak semula atau setelah ada penjelasan.

Contoh :
ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& ’Îû Ædkptø:$# >pyèö7y™ur #sŒÎ) öNçF÷èy_u‘ 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×’s#ÏB%x.
“Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna.” (QS Al-Baqarah : 196)
Lafadz “tsalatsati ayyamin” (tiga hari), “sab ‘atin (tujuh) dan “’asyaratun” (sepuluh),”ardlun” (bumi), “samaun” (langit)  adalah sangat jelas sehingga tidak perlu penjelasan lagi.
  1. Macam-Macam Bayan
3)      Bayan dengan perkataan, misalnya :
ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& ’Îû Ædkptø:$# >pyèö7y™ur #sŒÎ) öNçF÷èy_u‘ 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×’s#ÏB%x.
“Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna.” (QS Al-Baqarah/2 : 196)
Lafadz “tsalatsati ayyamin” (tiga hari), “sab ‘atin (tujuh) dan “’asyaratun” (sepuluh) adalah sangat jelas sehingga tidak perlu penjelasan lagi.
Ayat ini sebagai bahan (penjelas) dari rangakaian  kalimat sebelumnya tentang  pengganti denda/dam bagi orang yang melaksanakan haji tamattu’.
4)      Bayan dengan perbuatan, misalnya penjelasan Nabi SAW dalam masalah shalat.
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat.” (HR Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan Rasulullah SAW.dengan perbuatan shalat dan sambil menyuruh orang lain untuk menirukannya. Oleh karena itu, penjelasan semacam ini disebut “Bayan dengan perbuatan”.
5)      Bayan dengan isyarat, misalnya hadits Nabi, “ Aku dan orang yang menanggung anak yatim seperti ini”. Rasulullah menunjukkan ibu jari dan jari tengah untuk menunjukka kedekatannya para penyantun anak yatim.
6)      Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan, seperti ketika Rasulullah SAW. menerangkan tentang kewajiban haji di muka umum, kemudia ada salah seorang yang bertanya, apakah kewajiban haji itu tiap-tiap tahun? Kemudian beliau diam tidak memberikan jawaban. Maka diamnya Rasulullah SAW itu menjadi bayan bahwa kewajiban haji itu tidak setiap tahun.
7)      Bayan dengan meninggalkan perbuatan, seperti hadits riwayat Ibnu Hibban yang artinya : “Adalah akhir dua perkara pada Nabi SAW adalah tidak berwudhu karena makan apa yang dipanaskan oleh api.”
Hadits ini sebagai penjelaskan bahwa Nabi SAW tidak berwudhu setiap kali selesai makan daging yang dimasak.

  1. Kaidah terkait dengan Mujmal dan Mubayyan
تَأْخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ
Artinya : “Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan.”
Maksudnya, dalam keadaan mendesak, memberikan penjelasan sesegera dan secepat mungkin menjadi keharusan.

تَأْخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الخِطَابِ يَجُوْزُ
Artinya : “Mengakhirkan penjelasan pada saat diperintahkan hukumnya boleh.”
Contoh, perintah salat, puasa, zakat, dan haji. Semua dijelaskan secara bertahap dan mendetail. Ia tidak langsung serta merta dijelaskan, tetapi penjelasannya diakhirkan. Dalam hal ini, yang lebih dipentingkan adalah kejelasan dari suatu  hukum, bukan kesegeraannya.

  1. MURADIF DAN MUSYTARAK (المرادف والمشترك)
  1. Pengertian Muradif dan Musytarak
Muradif ialah beberapa lafadz yang menunjukkan satu arti. Misalnya lafadznya banyak, sedang artinya dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.
8)       اللَّيْثُ, الاَسَدُ                                     :singa
9)        الاستاذ, المدرَس, المعلم, المؤدّب : pendidik (guru)
10)    الهرّ, القط                                       : kucing
  1. Pengertian Musytarak
musytarak ialah satu lafadz  yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadz mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
11)  قُرُوْءُ            :suci
12)   يَدٌ              :tangan secara keseluruhan, telapak tangan, lengan tangan
13)  ذَهَبَ           : pergi, hilang
14)  عَيْنٌ                            : mata, sumber mata air dan mata-mata
  1. Muradif dan Musytarak
a.
اِيْقَاعُ كُلٍّ مِنَ المُرَادِفَيْنِ مَكَانَ الاخرِ يَجُوْزُ اِذَا لَمْ يَقُمْ عَلَيْهِ طَالِعٌ شَرْعِيٌّ
Artinya: Mendudukkan dua muradit pada tempat yang lain (mempertukarkannya) itu diperbolehkan jika tidak ada ketetapan syara’.

Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Namun kaidah ini tidak berlaku bagi Al-Qur’an, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab malikiah, takbir salat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal “Allah akbar.” Imam syafi’I membolehkan dengan lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal “Allah Akbar” diganti dengan lafal “Allah Al-Azim” atau “Allah Al-Ajal”.
Ulama’ yang tidak membolehkan beralasan karena adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
b.
اِسْتِعْمَالُ المُشْتَرَكِ فِى مَعْنَيْهِ اَوْ مَعَانِهِ يَجُوْزُ
Artinya : Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.

Jadi, menetapkan salah satu makna dari suatu lafal musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, QS Al-Hajj [22] : 2, “Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud’.”
Jumhur Ulama’ termasuk Imam Syafi’i, Qodi Abu Bakar dan Al Juba’i berpendapat bahwa pemakaian lafadz musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan Firman Allah SWT.
óOs9r& ts? žcr& ©!$# ߉àfó¡o„ ¼çms9 `tB ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# `tBur ’Îû ÇÚö‘F{$# ߧôJ¤±9$#ur ãyJs)ø9$#ur ãPqàf‘Z9$#ur ãA$t7Ågø:$#ur ãyf¤±9$#ur >!#ur¤$!$#ur ׎ÏVŸ2ur z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# (
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar manusia?” (QS Al-Haj : 18)
Lafadz يَسْجُدُ itu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan binatang melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi manusia yang berakal sujud berarti meletakkan dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya dengan
كَثِيْرٌ مِنَ النَاسِ . oleh karena itu, imam Syafi’i mengartikan kata “mulamasah” dalam firman Allah SWT:   اوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاء dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara bersama-sama.

  1. ZAHIR DAN TAKWIL
  1. Pengertian Zahir dan Takwil
Zahir menurut bahasa berarti jelas, sedangkan menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya yang dengan sendirinya menunjuk makna/arti yang lebih kuat dengan kemungkinan mengandung makna lain.
Contoh Zahir:
Firman Allah SWT:
 ¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
“Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah /2: 275)
Ayat tersebut secara zahir menjelaskan halalnya jual beli dan haramnya riba tanpa memerlukan keterangan atau penjelasan lain.
توضؤوا من لحوم الإبل
Hendaklah kalian wudlhu lagi karena makan daging unta.
Kata “wudlu” di sini bermakna dhohir yakni wudlu sperti hendak sholat. Bukan wudlu secara bahasa yaitu bersih.

Sedangkan takwil secara bahasa berarti berbelok atau berpaling apabila kembali. Menurut istilah adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/bukti, sehingga menjadi lebih jelas.
Contoh Takwil : seperti lafadz يَدٌ (tangan), lafadz ini bisa diartikan kepada tangan atau makna yang lain yaitu kekuasaan.
و اسأل القرية
Bertanyalah pada desa itu.
Ditakwil menjaadi “bertanyalah pada penduduk desa itu” karena tidak mungkin bertanya pada desa itu sendiri.
Agar lafadz tersebut menjadi jelas, maka masih diperlukan keterangan lain, sehingga tidak menyimpang dari makna zahirnya.

  1. Masalah yang dapat ditakwil
Para Ulama’ sepakat bahwa masalah-masalah yang bersifat furu’ (cabang) dapat menerima takwil. Sedangkan masalah-masalah ushul (pokok) atau aqidah terdapat perbedaan pendapat.
15)  Golongan Musyabbihah berpendapat bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah tidak perlu ditakwilkan karena sudah jelas dan berlaku menurut zahir, seperti mengartikan tangan Allah SWT disamakan dengan tangan manusia / makhluk-Nya.
16)  Golongan salaf seperti Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa masalah-masalah ushul atau aqidah dapat ditakwilkan, tapi takwilnya diserahkan kepada Allah SWT. jadi, menurut pendapat ini Allah SWT memang bertangan tetapi tangan Allah SWT itu berbeda dengan tangan makhluk-Nya, karena hakekatnya yang paling tahu adalah Allah.
17)  Golongan Khalaf berpendapat bahwa boleh mentakwilkan dan pentakwilannya dilakukan oleh manusia sendiri, seperti mengartikan “tangan Allah” ditakwilkan dengan “kekuasaan Allah”, “mata Allah” ditakwilkan dengan “pengawasan Allah”, dan “Allah SWT bersemayam di Arsy” ditakwilkan dengan “Allah SWT berkuasa di Arsy”, dan sebagainya.
  1. Syarat-syarat Takwil
Takwil harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)      Takwil harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan sastra Arab.
b)      Takwil harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’
c)      Takwil harus dapat menunjukkan dalil (alasan) tentang takwilnya itu.
d)      Jika takwil berdasarkan qiyas haruslah memakai qiyas yang jelas dan kuat.
  1. Kaidah berhubungan dengan Takwil
الفُرُوْعُ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ اتِّفَاقًا
Artinya : “Masalah cabang (furu’) dapat dimasuki takwil berdasarkan konsensus.”
الاُصُوْلُ لاَ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ
Artinya : “Masalah ushuluddin (akidah) tidak dapat menerima takwil.”


  1. NASIKH DAN MANSUKH
Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus tetapi bertahap untuk memudahkan umat Islam menyesuaikan diri dengan hukum-hukum yang ditetapkan Allah SWT. sehingga kadang ada hukum yang dulu sudah ditetapkan dianggap tidak berlaku lagi karena ada hukum baru yang datang kemudian. Hukum terdahulu yang dianggap tidak berlaku lagi disebut mansukh = yang dihapus, dan hukum yang datang kemudian disebut nasikh = yang menghapus.


  1. Pengertian  Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa dari kata نَسَحَ berarti menghapus, memindahkan atau membatalkan, sedangkan menurut istilah ushul fiqih ialah
النَّسْخُ هُوَ رُفْعُ حُكْمٍ شَرْعِيِ عَنِ المَكَلَّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِىٍّ مِثْلِهِ مُتَأَخِّرِ
Artinya : “menghapus hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang datang kemudian.”
Yang membatalkan disebut nasikh dan yang dibatalkan disebutmansukh.
Contoh Nasikh dan Mansukh
Sabda Nabi SAW :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُوْرِ اَلاَ فَزُوْرُهَا

“Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah ke kuburan karena hal itu dapat mengingatkan kamu tentang akherat.” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Menurut hadits di atas semula ziarah kubur itu hukumnya haram. Kemudian, hukum haram itu sudah dihapus. Yang menghapuskan haramnya ziarah kubur adalah hadits Nabi SAW sendiri dengan sabdanya.

  1. Dasar Hukum Nasakh
Firman Allah SWT :
$tB ô‡|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù’tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃ωs%
“Ayat mana saja yang kami hapuskan atau kami jadikan (manusia) lupa padanya, Kami datangkan yang lebih baik  dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah SWTMaha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS Al-Baqarah : 106)

(#qßsôJtƒ ª!$# $tB âä!$t±o„ àMÎ6÷Vãƒur ( ÿ¼çny‰YÏãur ‘Pé& É=»tGÅ6ø9$#
“ Allah SWTmenghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki) dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahrfudz).” (QS Ar-Ra’ad/13 : 39)

  1. Syarat-syarat Nasakh
Nasakh harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)      Yang dinasakh (dibatalkan) itu hukum syara’
b)      Pembatalan itu datangnya dari Khithab (tuntunan) syara’
c)      Nasikh harus terpisah / muntashil dari Mansukh, dan datangnya terkemudian dari mansukhnya.
d)      Mansukh tidak terikat oleh waktu
e)      Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh. Misalnya, Al-Qur’an dengan al-Qur’an yang sama-sama qath’i.

  1. Macam-macam Nasakh
Para ulama ushul fiqih membagi nasakh menjadi 3 macam.
18)  QS. Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
QS. Al-Anfal [8] : 65
$pkš‰r’¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym šúüÏZÏB÷sßJø9$# ’n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3tƒ öNä3ZÏiB tbrçŽô³Ïã tbrçŽÉ9»|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øótƒ $Zÿø9r& z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr’Î/ ×Pöqs% žw šcqßgs)øÿtƒ
Artinya : “Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.
Dinasakh dengan surat QS Al-Anfal [8] : 66
Ÿw (#râ‘É‹tG÷ès? ô‰s% Länöxÿx. y‰÷èt/ óOä3ÏY»yJƒÎ) 4 bÎ) ß#÷è¯R `tã 7pxÿͬ!$sÛ öNä3ZÏiB ó>Éj‹yèçR Opxÿͬ!$sÛ öNåk¨Xr’Î/ (#qçR$Ÿ2 šúüÏB̍øgèC
Artinya : “Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
19)  Sunnah dengan Al-Qur’an
اِسْتِقْبَلَهُ فِى الصَّلاةِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا
Artinya : “Bahwasannya Nabi SAW menghadap (Baitul Maqdis) dalam shalat enambelas bulan.”
فَوَلِّى وَجْهَكَ شَطْرَ المَسْجِدِ الحَرَامِ
Artinya : “Hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS Al-Baqarah, ayat 144)
20)  Sunnah dengan Sunnah
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَاررَةِ القُبُوْرِ اَلاَ فَزُوْرُهَا

  1. Hikmah Naskh
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, hikmah adanya naskh adalah sebagai berikut:
21)  Hukum Allah diturunkan untuk mewujudkan kepentingan hidup manusia. Kepentingan hidup manusia selalu berubah disebabkan perubahan hidup, waktu, dan tempat. Maka naskh sebagai salah satu jalan memperjelas hukum hasilnya sejalan dengan kepentingan hidup manusia di mana saja manusia hidup.
22)  Pembentukan hukum memerlukan adanya tahapan sehingga manusia tidak merasa kaget dan tidak merasa berat. Misalnya, proses keharaman khamar.
  1. Kaidah berhubungan dengan Naskh
القَطْعِيُّ لاَ يَنْسَخَهُ الظَّنُّ
Artinya : “Dalil qath’I tidak dapat dihapus dnegan dalil zanni.”






  1. Pengertian Amar       َاْلاَمْرُ )
الاَمْرُ طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى
“Amar adalah perkataan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah.”
  1. Bentuk-Bentuk Amar dan Contohnya
    1. Fi’il Amar
    2. Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amar : ولتكن
    3. Isim Fi’il Amar
    4. Isim Masdar pengganti fi’il
    5. misal kata :    $ZR$|¡ômÎ)  = berbuat baiklah
    6. Kalimat Berita (Kalam Khabar) bermakna Insya
    7. Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah
أَمَرَ,فَرَضَ, كَتَبَ, وَجَبَ
  1. Kaidah-Kaidah Amar dan Maknanya
    1. Kaidah pertama
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Pada dasarnya perintah itu menunjukkan wajib.”
  1. Kaidah Kedua : Perulangan dalam Suruhan
1)      Pada prinsipnya Amar (perintah) tidak menghendaki berulang-ulang
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى التِكْرَار
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki berulang-ulangnya pekerjaan yang dituntut.”
2)      Amar (perintah) itu menghendaki berulang-ulang
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ يَقْتَضِى التِكْرَار مُدَّةَ العُمْرِ مَعَ الاِمْكَانِ
 “Pada dasarnya perintah itu menghendaki berulang-ulangnya perbuatan yang diminta selagi masih ada kesanggupan selama hidup.”
  1. Kaidah Ketiga
الاَمْرُبِالشَّيْئِ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya / perantara.”

  1. Kaidah Keempat
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى الفَوْرَ
“Pada dasarnya perintah (Amar) itu tidak menuntut dilaksanakan segera.”
  1. Kaidah Kelima
الاَمْرُ بَعْدَ النَّهْيِ يُعِيْدُ الابَاحَةِ
“Perintah sesudah larangan menunjukkan kebolehan.”

  1. 4.      Pengertian Nahi (larangan)
النَهْيُ هُوَ طَلَبُ التَّرْكِ مِنَ الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى
“Larangan ialah tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah tingkatannya.”
  1. Bentuk-Bentuk Nahi
    1. Fi’il Mudhari yang didahului dengan “la nahiah” / lam nahi = janganlah
    2. Lafadz-lafadz lain yang memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan perbuatan / suatu larangan.
    3. Kaidah-Kaidah Nahi dan Maknanya
      1. Kaidah Pertama
الاَصْلُ فِى النَهْيِ لِلتَحْرِيْمِ
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram.”
  1. Kaidah Kedua
الاَصْلُ فِى النَهْيِ المُطْلَقْ يَقْتَضِى التِكْرَارَى فِى جَمِيْعِ الاَزْمِنَةِ
“Pada dasarnya larangan mutlaq itu menghendaki pengulangan dalam segala zaman.”

  1. Kaidah Ketiga
النَهْيُ عَنْ شَيْئٍ اَمْرٌ بِضِدِهِ
“Melarang dari sesuatu itu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.”
  1. Kaidah Keempat
النَهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ المُنْهِىِّ عَنْهُ
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan perbuatan yang dilarang (baik ibadah maupun mu’amalah).”
  1. 7.      Al ‘Am (العَامُ ) secara bahasa berarti umum, merata, menyeluruh, sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih :
  2. Kaidah ‘Am
عُمُوْمُ العَّامِ سُمُوْلِيٌّ وَ عُمُوْمُ المُطْلَقِ بَدَلِيٌّ
Artinya : “Keumuman ‘am itu bersifat menyeluruh  sedangkan keumuman mutlaq itu bersifat mengganti / mewakili.”

  1. 9.      Pengertian Khash menurut istilah Ushul Fiqih :
الخَصُّ هُوَ اللَفْظُ الذِى يَدُلُّ عَلَى مَعْنًا وَاحِدًا
Artinya : “Lafadz yang menunjukkan satu makna tertentu.”
  1. Mutlaq menurut bahasa berarti lepas tidak terikat, adapun menurut istilah berarti suatu lafadz tertentu yang tidak terikat yang dapat mempersempit keluasan artinya.
  2. Muqayyad menurut bahasa berarti terikat. Menurut istilah adalah suatu lafadz tertentu yang terikat oleh lafadz lain yang dapat mempersempit keluasan artinya.
  3. Nash Al-Qur’an atau As-Sunnah disebutkan dengan lafadz mutlaq, sedangkan di tempat lain disebutkan dengan bentuk muqayyad,
  4. Kaidah yang berhubungan dengan Mutlaq dan Muqayyad

المُطْلَقُ يَبْقَى عَلَى اِطْلاَقِهِ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى تَقْيِيْدِهِ
 Artinya : “Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya.”
المُقَيَّدُ بَاقٍ عَلَى تَقْيِيْدِهِ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى اِطْلاَقِهِ
Artinya : “Hukum muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.”
  1. Mantuq secara bahasa berarti yang diucapkan, secara istilah ialah suatu makna yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri (menurut ucapannya). Mantuq bermakna tekstual / yang tersirat.
  2. Mafhum menurut bahasa artinya dipahami, sedangkan menurut istilah suatu makna yang tidak ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri, tetapi menurut pemahaman terhadap ucapan lafadz tersebut. Mafhum bermakna kontekstual (yang tersirat) apabila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan pemahaman terhadap suatu ucapan maka dinamakan mafhum. .
  3. Mafhum dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
  4. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi 2 macam
1)            Fahwal Khitab.
2)            Lahnal khitab.
  1. Mafhum Mukhalafah, terdiri dari enam, macam :
1)      Mafhum sifat,
2)      Mafhum syarat,
3)      Mafhum ‘adad (bilangan),
4)      Mafhum Ghayah (batas),.
5)      Mafhum Hashr (pembatas/penyingkat) itu.
6)      Mafhum Laqab

  1. Mujmal ialah lafadz yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan.
  2. Mubayyan ialah lafadz yang jelas makna dan  maksudnya, tanpa memerlukan keterangan lain untuk menjelaskannya.
  3. Macam-Macam Bayan
    1. Bayan dengan perkataan,
    2. Bayan dengan perbuatan,
    3. Bayan dengan isyarat.
    4. Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan,.
    5. Bayan dengan meninggalkan perbuatan,
    6. Kaidah terkait dengan Mujmal dan Mubayyan
تَأْخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ
Artinya : “Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan.”

  1. Muradif ialah beberapa lafadz yang menunjukkan satu arti.
  2. Zahir menurut bahasa berarti jelas, sedangkan menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya menunjukkan kepada suatu arti tanpa memerlukan
  3. Takwil menurut istilah adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/bukti, sehingga menjadi lebih jelas.
  4. Kaidah berhubungan dengan Takwil
الفُرُوْعُ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ اتِّفَاقًا
Artinya : “Masalah cabang (furu’) dapat dimasuki takwil berdasarkan konsensus.”
الاُصُوْلُ لاَ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ
Artinya : “Masalah ushuluddin (akidah) tidak dapat menerima takwil.”

  1. Nasikh menurut bahasa dari kata نَسَخَ berarti menghapus, memindahkan atau membatalkan, sedangkan menurut istilah ushul fiqih ialah
النَّسْحُ هُوَ رُفِعَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ عَنِ المَكَلَّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِىٍّ مِثْلِهِ مُتَأَخِرِ
Artinya : “menghapus hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang datang kemudian.” .
Yang membatalkan disebut nasikh dan yang dibatalkan disebutmansukh.

  1. Macam-macam Nasakh
    1. QS. Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
    2. Sunnah dengan Al-Qur’an
    3. Sunnah dengan Sunnah
    4. 29.  Kaidah berhubungan dengan Naskh
القَطْعِيُّ لاَ يَنْسَخَهُ الظَّنُّ
Artinya : “Dalil qath’I tidak dapat dihapus dnegan dalil zanni.”




KAMUS ISTILAH


1. Dalalah        : petunjuk
2. Kaidah           : rumusan yang menjadi dasar hukum, aturan yang sudah pasti
3. Tersirat        : tersimpul, tersembunyi
4. Muskil         : tidak jelas
5. Sigat             : ucapan









Berilah tanda silang pada jawaban yang benar (X) diantara huruf  a, b, c, d atau e!

  1. Suatu lafadz menjadi mujmal dikarenakan …
    1. memiliki lebih dari satu pengertian
    2. dipindah makna bahasa kepada makna khusus
    3. memiliki satu pengertian
    4. bersifat umum
    5. a dan b benar
    6. Bila ada lafadz mujmal sedang tidak ada keterangan dari syara’ maka hukumnya …
      1. tawakkuf
      2. diambil salah satu
      3. ditarjih
      4. dipakai semuanya
      5. semuanya benar
      6. Kalimat   تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ    dalam bahasa Arab adalah …
        1. mujmal
        2. bayyan
        3. ijmal
        4. mutlak
        5. muqayyad
        6. Muradif sama artinya dengan …
          1. sinonim
          2. antinim
          3. majaz
          4. metafora
          5. denotatif
          6. Beberapa lafadz yang memiliki arti yang sama adalah …
            1. muradif
            2. musytarak
            3. mujmal
            4. mubayyan
            5. mutlaq
            6. Perbedaan pendapat dalam maslah lafadz muradif terjadi dalam hal …
              1. istinbat hukum
              2. penggunaannya dalam bacaan shalat
              3. penggunaanya dalam dzikir
              4. kehujjahannya
              5. b dan c benar
              6. Bila ada lafadz musytarak tanpa adanya penjelasan mana yang dikehendaki oleh syara’ maka …
                1. ditarjih
                2. dinasakh
                3. ditinggalkan (Tawaquf)
                4. digunakan semuanya
                5. dita’wil
                6. Lafadz   يَسْجُدُ    (bersujud) adalah musytarak karena memiliki dua pengertian yaitu
                  1. sujud dan shalat
                  2. meletakkan dahi diatas bumi dan tunduk
                  3. shalat dan ibadah
                  4. tunduk dan patuh
                  5. tunduk dan beribadah
                  6. Dzahir dalam istilah fuqaha adalah …
                    1. lafadz yang mengandung pengertian hakiki
                    2. lafadz yang mengandung pengertian majas
                    3. lafadz yang tertuju pada dua makna tetapi lebih berat menuju kepada salah satunya yang lebih jelas
                    4. lafadz yang memiliki arti yang jauh
                    5. lafadz yang memiliki lebih dari satu pengertian
                  7. Ta’wil menurut istilah adalah …
                    1. memalingkan lafadz dari makna majas menuju makna haqiqi
                    2. menafsirkan makna lafadz supaya lebih jelas
                    3. membelokkan lafadz dari makna dhahir kepada makna lain
                    4. penggunaan lafadz dari makna khusus menjadi makna umum
                    5. sama dengan  pengertian tafsir

II. Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan jelas ?
  1. Sebutkan kaidah-kaidah amar dan contohnya
  2. Sebutkan contoh contoh lafadz khas
  3. Berikan contoh lafadz muqoyyad
  4. Jelaskan perbedaan mutlaq dan muqoyyad
  5. Bedakan antara nasikh dan mansukh

  1. TUGAS Individu
Isilah kolom di bawah ini dengan benar!
No
Kaidah Ushul Fiqih
Contoh ayat / hadits
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Amar
Nahi
‘Am
Khash
Mutlaq
Muqayyad
Muradif
Musytarak
Zahir
Ta’wil
  

  1. TUGAS Kelompok
Diskusikan dengan temanmu kemudian tulislah hasilnya!
  1. 5 Ayat Al-Qur’an yang berbentuk Amr
  2. 5 Ayat Al-Qur’an yang berbentuk Nahi
  3. 5 Ayat / hadits nasikh dan mansukh
  4. 5 Ayat / hadits yang berbentuk mantuq
  5. 5 Ayat / hadits yang berbentuk mafhum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar